Rabu, 29 Desember 2010

Analis Opini

Analisis Hukum atas Opini Refly di Kompas 25 Oktober 2010

MK Masih Bersih?”, sebuah judul opini media massa Kompas 25 Oktober 2010 ditulis oleh Refly Harun mantan staf ahli hukum MK 2003-2007 yang merupakan tanggapan atas statement Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi di www.kompas.com tanggal 19 Oktober yang berupa:

Kami bersih 100 persen! Siapa yang punya bukti (sebaliknya) silakan, akan kami bayarlah.”

Sebagai seorang pengamat dan praktisi Hukum Tata Negara, dalam opini tersebut terdeskripsikan bahwa Refly seolah-olah sangat kecewa dan menilai ada ketidak beresan hukum dalam tubuh MK terkait adanya rumor suap pilkada pada salah satu hakim. Hal itu juga ditegaskan sangat lugas dan tegas oleh Refly dalam artikel tersebut pada waktu kunjungannya ke Papua dan menyebutkan nominal rupiah berkisar 10-12 miliar untuk membayar MK.

Tulisan itu memang menghentakkan publik terlebih pihak MK (khususnya Mahfud) yang geram akan opini itu. Jika kita tinjau dalam konteks hukum yang sesungguhya maka pernyataan Refly dalam media massa tersebut diperlukan sejumlah bukti hukum yang kuat kalau memang MK telah menyelewengkan jabatannya sebagai pemandu hukum negara.

Menyorot tulisan Refly itu maka dalam pandangan penulis akan mencoba menganalisis beberapa persoalan hukum terkait lemparan opini yang menggugah hukum dalam hukum ditubuh MK.

Pertama, tulisan Refly adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan pemahaman atas putusan Hoge Raad, 31 Januari 1919 pada linea d bahwa: pernyataan Refly adalah bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain. Mengapa demikian sebab ia menyangkut nama baik MK (sebuah institusi Negara) dan individu Mahfud sebagai manusia yang berhak atas hukum pidana maupun perdata.

Di samping itu, dalam pengertian melawan hukum termasuk perbuatan seperti membuat orang lain tidak aman, atau orang lain merasa namanya sendiri, namanya orang tua, bahkan namanya orang yang ditokohkannya dianggap atau dapat dianggap tercemar, adalah termasuk perbuatan melawan hukum.

Artinya ada dua pernyataan bahwa pertama, pihak MK adalah pejabat/institusi negara yang bisa dirugikan Refly secara hukum pidana maupun perdata terkait pencemaran nama baik dan penyebaran rumor kasus suap di tubuh MK yang sudah tercium oleh publik dan masyarakat luas.

Kedua, Refly sendiri menjadi objek yang melawan hukum sebab dalam pernyataan opini tersebut belum terdapat bukti-bukti yang bisa menguatkan dimana letak kesalahan MK atas tindakan penyelewengan salah satu dari sembilan dari hakim tersebut.

Perbuatan melawan hukum disini dinyatakan karena adanya indikator “pencemaran nama baik MK dan sosok individu atas ketidak bertanggungjawaban seorang Ketua Mahkamah Konstitusi yang seharusnnya menjaga hukum tetapi malah melindungi mafia hukum.”

Kedua, Refly terkena unsur sifat melawan hukum. Merujuk pada pendapat Mahkamah Agung R.I terlihat jelas berdasaarkan Yurisprudensi Tetap MARI No. 30 K/Kr/1969, tanggal 6 Juni 1970, yaitu; dalam setiap tindak pidana selalu ada “sifat melawan hukum” dari perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan.

Artinya bahwa unsur sifat melawan hukum pada Refly akan tetap menjadi keputusan secara hukum terkecuali ketika hal itu bisa ditindak lanjuti dengan tiga ketentuan pelanggaran hukum dan Refly dapat dinyatakan tidak bersalah, yaitu; tulisan Refly terbukti menunjukkan adanya kesalahan, adanya kemampuan bertanggungjawab, dan adanya unsur kesengajaan.

Dari situ akan terlihat dimana proses indikasi sifat melawan hukum dari Refly akan semakin jelas kalau memang bisa ungkap secara implisit unsur perlawanan hukumnya. Salah dan tidaknya Refly atau benar dan tidaknya MK adalah harus ditelaah melalui sifat melawan hukum untuk menjelaskan kronologis perbuatan melawan hukum baik pada Refly itu sendiri maupun MK dengan segenap tinjauan hukum dan pembuktiannya.

Ketiga, Refly terindikasi berkewajiban dalam pembuktian hukum. Bahwa Mahfud yang kemudian membentuk Tim Investigasi hukum dan menunjuk Relfy sendiri sebagai ketuanya adalah salah satu hak pembuktian dimana hukum tetap harus ditegakkan apakah MK bisa dinyatakan melanggar hukum atau tidaknya akibat salah satu hakim yang menerima uang suap dari salah satu peserta pilkada ataupun Refly sendiri yang bermaksud lain dengan unsure kesengajaan politis terhadap MK.

Senada dengan pembuktian hukum tersebut bahwa pada Pasal 160 KUHPidana berbunyi:Barangsiapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan mau menurut peraturan perundang-undangan atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan perundang-undangan, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-“.

Oleh karena itu sudah cukup jelas akan terjadi sebuah pemetaan proses pembuktian hukum. Pertama, Refly harus secepatnya dapat membuktikan statemennya melalui Tim Investigasi hukumnya untuk menunjukkan pada publik bahwa kebenaran opininya adalah kebenaran publik bukan kebenaran sensasional pencitraan politik melalui media massa. Mahfud dalam hal ini adalah mewakili MK yang akan dituntut secara hukum oleh Refly kalau kebenaran bukti adanya penyuapan terhadap MK dapat dibuktikan secara hukum oleh Refly dan diproses oleh kejaksaan melalui pihak pengaduan badan kepolisian.

Kedua, Refly akan mengalami tindakan sempit, tuntutan hukum balik oleh MK jika tidak dapat membuktikan kebenaran suap yang terjadi dalam tubuh MK. Sebab dalam proses pembuktian hukum pihak MK adalah mengalami kerugian dan akan menuntut kerugian tersebut dengan pemahaman bahwa tuntutan balik dapat ditujukan baik terhadap individu, lembaga media pemberitaan, lembaga kepolisian maupun kejaksaan.

Tindakan itu adalah suatu jalan menuju kebenaran hukum yang selama ini mengalami sandungan masalah ketidak konsekwensian hukum dan selalu memihak pada penguasa keputusan hukum di Indonesia terlebih MK sebagai induk putusan hukum dalam kekuatan hukum bernegara.

Kesimpulan
Kata Mahfud; ”kalau Tim Investigasi menenmukan bahwa ada hakim yang terlibat mafia kasusu, tetapi kemudian dia ingkar dan tidak bersedia dibawa ke Komisi Pemberantasan Korupsi, saya yang mundur. Artinya saya telah gagal memimpin.” (Kompas, 3/11/10).

Pernyataan itu adalah sebuah konsekwensi ketegasan dari Mahfud untuk kredibiltas MK dari adanya kritik dan isu kebusukan yang sedang menerpa MK. Oleh karena itu kesimpulan selanjutnya atas perkara MK yang diopinikan Refly dapat ditarik benang merah hukumnya sebagai berikut:

Pertama, hak hukum MK adalah untuk membantah kalau ternyata temuan dan kritikan Refly tidak benar.

Kedua, hak hukum Refly adalah hak untuk mengungkapkan temuan dan mengajukan kritik di media massa.

Ketiga, kewajiban hukum MK dan Refly adalah sama yaitu membongkar kasus tersebut hingga tuntas.

Kiranya kalau kita persempit lebih lugas bahwa kewajiban dan kewenangan Tim Investigasi harus sejalan dengan hukum dan ketentuan yang dibuat atas kronologis kasus yang terjadi di MK dan tetap mengindahkan hukum sebagai jalur aturan dan begitu pula konsekwensi Mahfud atas MK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email