Rabu, 29 Desember 2010

Ancaman Ritel Asing

Waspadai Penggusuran Pasar Tradisional dari Ritel-ritel Asing
Oleh:JAMSARI

Selamat malam, selamat datang di Alfamart”, kata yang tak tulus keluar dari salah seorang kasir kartel Alfamart di Malang. Suara itu datar, tanpa senyum, dan terlihat kaku. Ada ketakutan instruksi dari atasan yang seolah-olah jika tidak memberikan pelayanan terbaik berupa sambutan “hangat” bagi para konsumen akan “dipecat” atau diturunkan status jobdisnya. Tandanya seorang buruh harus tahluk pada perintah pemodal untuk mempertahankan status pekerjaannya sebagai karyawan. 

Sementara itu, kartel-kartel asing dengan sistem frinchess (waralaba) yang sudah menjamur di seluruh kota-kota besar Indonesia, tak ubahnya sebagai mesin pencetak uang bagi pemodal yang siap mematikan para pedagang kecil tradisional dengan cara menggeser nilai-nilai ekonomi pasar tradisional menuju cengkaraman capital. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendag) No 25/2008 tentang Pedoman Penataan Pembinaan Pasar Tradisional, dan Toko Modern, tidak tertata secara maksimal dan betul-betul diperuntukkan kesejahteraan ekonomi kerakyatan.

Dalam peraturan itu telah tertulis bahwa Investor Asing hanya boleh masuk di level hipermarket dan supermarket. Daerah luas lahan terbatas 1.200 meter persegi dan di bawah itu hanya diperbolehkan frinches (waralaba) atau waralaba milik orang Indonesia. Sedangkan minimarket tersebut diperbolehkan buka dari jam 10.00-22.00, sementara orang pasar tradisional hanya boleh buka sejak subuh hingga pukul 08.00.

Faktanya, kartel seperti Alfamart, Indomart, telah dibuka selama 24 jam nonstop yang sesungguhnya hal demikian telah melanggar aturan Permenda yang jelas-jelas akan menutup celah pasar taradisional dalam menangkap peluang pembeli agar bisa bertahan hidup. Sedangkan pasar tradisional hanya mampu bertahan di toko-toko kecil tengah pasar dan emperan pasar-pasar induk, seperti pasar Besar Kota Malang, Blimbing, Dinoyo, Klojen, Gadang yang mengandalkan waktu penjualan paling lama 12 jam.

Fakta itu pun, antara pasar Dinoyo dan pasar Blimbing akhir-akhir ini rencananya akan diubah menjadi pasar semimodern dengan sistem revitalisasi yang telah ditandatangai Pemkot Malang bersama direktur PT Karya Indah Sukses Litiansyah King dan Direktur PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi (Kompas Jatim,1/10).

Aturan Permenda, menjadi aturan baku dalam mengelola pasar tradisional yang hingga kini masih menjadi tumpuan hukum pasar atas masyarakat dalam mencari mata pencahariannya di pasar-pasar kota maupun kabupaten. Tetapi indikasi melemahnya pasar tradisional, pertama, semenjak munculnya kartel-kartel asing yang hingga pada tahun 2008 telah meningkat menjadi 532 gerai dan tahun sekarang kemungkinan besar lebih meningkat lagi. Data BisInfocus pada tahun 1970-1990 pemegang merek ritel Asing berkisar lima dengan jumlah 275 gerai. Di tahun 2004 merek ritel Asing meningkat menjadi 14 dengan jumlah 500 gerai dan di tahun 2008 merek ritel Asing semakin meningkat 18 dengan 532 gerai.

Kedua, lemahnya pasar tradisional dimainkan antara borjuis kota dan kabupaten dengan kartel-kartel asing yang hingga kini telah mengalami perkawinan simbolik dan pemodal. Salah perkawinan simboliknya seperti pemakaian nama Indomart, Alfamart dan sebagainya. Dalam hal ini, upaya pemerintah harus secepatnya menyisir beragam kartel-kartel asing yang bersembunyi dibalik gerai-gerai itu dan harus segera menertibkan pasar melalui aturan Permenda yang sudah ditetapkan.

Pertama, upaya ketertiban dalam tiap wilayah kota dan kabupaten seharusnya diantisipasi pemerintah dalam batasan jumlahnya, sehingga tidak merugikan para masyarakat kita, dari segi geografis, market, dan area pembelokan konsumen. Meskipun hak secara penuh konsumen adalah konsumer itu sendiri yang akan memutuskan dimana mereka akan memutuskan niatnya untuk membeli kebutuhannya.

Kedua, waktu mereka yang tak mengenal batas (no limite) dalam menarik konsumen harus punya kanalisasi waktu yang tepat dan tidak melebihi dari 24 jam penjualan yang mengakibatkan kerugian pasar tradisional secara penuh.

Ketiga, hukum pasar yang berlaku antara kartel asing sebagai pemodal dan pengusaha dan pasar tradisional harus lebih dipertegas persoalan wilayah penjualan, bangunan, waktu, tempat, dan perkembangannya khususnya perkawinan antara pemodal lokal dan asing. Sebab hal demikian akan lebih mengefektifkan masing-masing pergerakan dan perkembangan pasarnya secara adil oleh pemerintah.

Keempat, perkawinan natara borjuis local dan asing haruis dipegang sepenuhnya oleh pemodal local. Artinya batasan wilayah asing adalah sebagai realsi modal bukan pemilik lahah, dan mengatasnamakan katel perkawinan tersebut. Sebab para pemodal lokal sudah seharusnya mempertahankan kredibilitas ekonomi pasar tradisional sebagai pasar dimana mereka dilahirkannya, bukan malah menetek di ketika para pemodal asing yang itu, sesungguhnya telah merugikan dirinya sendiri dan lingkungan masyarakat kita.

Upaya pemerintah daerah tidak akan berjalan mulus tanpa melibatkan sistem kerjasama dengan masyarakatnya. Bagiamana pemerintah daerah merujuk pada Permenda dan memberikan ruang-ruang publik keterbukaan bagi para pedangan pasar tradisional serta mengarahkannya pada sistem pertumbuhan ekonomi yang lebih layak.  

Jadi, kerjasama pemerintah daerah dan dukungan masyarakat adalah ikatan sosiologis pasar dalam membangun relasi ekonomi kerakyatan dam mewujudkan pasar tradisional lebih terkelola dan maju. Tidak kemudian pemerintah daerah justru menutup pasar tradisional dengan menarik seluruh modal asing seperti revitalisasi yang terjadi di pasar Dinoyo dan Blimbing yang menempatkan pasar tradisional sebagai second market atau marginal market.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email