Rabu, 29 Desember 2010

Menemukan Islam Lewat Ahmad Wahib, Gus Dur dan Nurcholis Madjid

Menemukan Islam, Membaca Kembali Pemikiran Ahmad Wahib
Oleh JAMSARI
(Dimuat di Jurnal Gagasan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI),  Jakarta, November 2010)

Aku ingin Al-quran itu membentuk pola pikirku. Aku tak tahu apakah selama ini aku sudah Islam atau belum. Tapi bagaimana mengintegrasikan Al-quran itu dalam kepribadianku? Bagaiamana?
Tuhan, aku rindu akan kebenaranMu”.
(Catatan A Wahib, 11 Maret 1969)


Kisah A Wahib, seorang pemuda merindukan Tuhan dalam titian zaman (organization and limited group) yang tanpa harus membanggakan Islam patronase meskipun lekat manjadi agama kepercayaannya, sempat mengkristalisasikan nalar kritis bagi kaum muda pada zamannya. Kebenaran Tuhan yang ia rindukan pun akhirnya telah terjawab oleh dirinya sendiri pada 30 Maret 1973.1

Dia “beda” cara berpikir dengan Cak Nur, Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid dalam menggali jiwa kedalaman iman batiniahnya. Perbedaan itu terungkap ketika catatan-catatan hariannya mengkosepkan pencerahan buadaya, agama, Indonesia dalam bingkai ideology ketidak puasan dengan pendapat Mukti Ali, dan kawan-kawan seniornya. Tatapan ruang keislamannya mampu merepotkan barisan cendikiawan muslim, neo-modernisme-yang muda dalam kerangka pemikiran Wahib. Sikap dan nalar kritisnya adalah bentuk kelonggaran otak dalam daya tampung manusia seperti kita yang memiliki kebebasan berpikir. Bedanya, Wahib selalu menggelisahkan2 sesuatu dan terus mencari dalam ruang-ruang jiwa, diskusi serta pertarungan ide-ide yang selalu berbenturan dan siap mempertahankan dengan rasionalitas argumentasi referensialnya meskipun sebagian tertuang dalam catatan hariannya.3 Hal itu pun tak lepas dari pengaruh pemikiran Djohan ketika sama-sama berjuang dalam kebesaran HMI di Jogjakarta (1960-1970) sampai di Jakarta (1971-1973). Tentu, ide-ide Pembaharuan Pemikiran Islam-yang selalu menjadi mainstrem petualangan ideologinya Wahib.

Mencari kebenaran Tuhan, sebagai upaya untuk meyakinkan kepercayaan, eskatalogi merupakan langkah dan lompatan terjauh diatas normal ketika harus mengelucuti Tuhan, wahyu dan rasul-Nya dalam nalar dan pikiran sadar awam. Tuhan yang diidamkan dalam skriptualisme sebagai Sang Pencipta adalah bukan makna yang harus didiamkan ketika kebenaran murni yang hadir dari geneologi kehidupan sosial beragama masih dalam kisaran imajiner dan imagologi warisan.

Artinya, belum terkonvergensi antara empirisme, skriptualisme bahkan menuju metafisisme. Meskipun kelaziman selalu bicara bahwa kebenaran Tuhan adalah kebenaran mutlak (hakiki) bukan dlonni (sangkaan).

Islam bukan sesuatu kaidah (aturan) yang kaku di mana kebenaran selalu dianggap dan terlahir dengan telaah konjugasi pertikaian group serta teks suci tetapi kebenaran yang perlu diungkap dengan pelbagai tinjauan historis, analisis-metodologis yang dapat dipahami sebagai mainsite keberhasilan sistem yang terkonstruk akibat adanya bentuk das sin (historis) dan das solen (normatif) setelah wahyu (info langit) itu diturunkan dan ditransformasikan melalui Jibril pada Muhammad. Sehingga keberadaan Al-quran bukan semata-mata kisaran dongeng belaka tetapi mampu mensinergikan gejala-tanda-perkembangan manusia.

Kebenaran yang selalu menjadi ikatan kedalaman hati manusia merupakan diskripsi yang tak kan pernah pupus hingga akhir hayat meskipun tercatat sebagai tanda keagungan Tuhan dalam ciptaan-Nya.4 Kebenaran adalah sebagian pergolatan pemikiran cendikiawan muslim seperti A Wahib misalnya, cara telaah, peremajaan yang sengaja menjadi kajian linierisasi, terjemahan kerangka Al-quran dan Sunnah. Lalu Al-quran dan Sunnah itu dianggap sebagai historical and social setting5 yang selalu direview oleh umat manusia untuk mencari jalan ataupun hikmah metodis dari kebijakan-kebijakan sikap yang pernah dilakukan Muhammad. Dan bagaimana dinamisasi zaman mampu dibaca dengan budi dan kebajikan aqidah, syariat, fiqih, tauhid, maupun hukum tradisional sufistik agama yang selalu disebut khalwat dalam agama Islam. Tuhan, yang memiliki sifat wujud (mode of existence) dan kemudian dalam ”wujudnya” tidak mampu diterjemahkan oleh indera dan kerangka nalar manusia maka akan selalu menimbulkan pertengkaran ideologi tanpa batas kesadaran kolektif tertinggi dalam trus-iman yang inheren dalam diri manusia.

Bagaimana rasionalisasi kebenaran ”wujud” bisa dan mampu dijangkau akal manusia jika manusia itu sendiri tidak mampu, lemah (dloif) dalam menjangkau nalarnya sendiri?

Pun selanjutnya akar persoalan mengeja kebenaran yang terlahir maupun kebenaran embrio dalam esensi moralitas etika religius,6 perubahan sosial selalu bersumber pada kiprah Muhammad pada waktu menjadi pemimpin dan panglima dari pergumulan, kelompok yang sering disebut sebagai muslimin. Bentuk transenden baik memiliki kedekatan emosional horisontal maupun vertikal akan menjadi objek pendekatan bagaimana memahami Islam, Tuhan, dan agama yang selalu lekat dengan dogmatisme rahmatan lil alamin (sebagai rahmat bagi umat seluruh alam).

Penyambungan (konjungsi) terhadap konsep yang mestinya harus ditempuh dengan ungkapan silabus (progress meaning) akhirnya menjadi retifikasi pemberitaan (khobar),7 sebatas konspirasi yang tidak dapat mengembangkan akselerasi perjuangan (mubtada’nya) dalam menciptakan lingkungan Islam-keselamatan jalan dalam aplikasi menghormati dan menghargai umat-sesama makhluk ciptaan Tuhan yang mampu beretorika, dan dialektika untuk menelusuri jalan kebenaran.

Sebab Tuhan yang dikatakan Maha Adil atas segala-galanya bagi umatNya mengapa umatNya Tuhan itu sendiri diciptakan dan ditumbuh kembangkan pada lubuk goegrafis, agama, kepercayaan, geneologi, karakteristik yang tidak sama. Apa maksud dari “keadilan” Tuhan disini merupakan “kebenaran” jika hal demikian kita sepakati sebagai kebenaran mutlakNya.

Jadi, apa yang menjadi ikatan suci keberadaan makhluk-makhluk Tuhan dan makhluk manusia lainnya? Kalau manusia “tercipta” kemudian “terlahir” telah menyandang posisi kefitrahan8 sampai ditetapkan sebagai kholifah fil ard. Maka memulai pergolatan panjang sebagai bentuk kepastian dan kesepakatan bersama salah satunya ijtihad dalam mencari kebenaran-kebenaran yang berserakan9 di muka bumi. Bagaimana dengan sisi kepercayaan yang tidak sama (agama lain), berbeda dengan Islam sebagai kepercayaan mayoritas di Indonesia. Apakah hal itu cukup didialogkan dan ramah tamah saja atau dengan tindak lanjut yang seperti apa jika semua itu bertujuan pada kesepakatan dan pemahaman jati diri manusia Indonesia yang tidak lepas dari akar budaya, cara pandang kebhinekaan, cara berpikir ideologi kebangsaan, sudut pendapatan ekonomi, dan ketimpangan-ketimpangan sosial lainnya.

Islam, Agama, dan Bangsa

Aku belum tahu apakah Islam itu sebenarnya. Aku baru tahu Islam menurut HAMKA, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam menurut Ulama-ulama kuno, Islam menurut Djohan, Islam menurut Subki, Islam menurut yang lain-lain. Dan terus terang aku tidak puas. Yang kucari belum ketemu, belum terdapat, yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya. Bagaimana? Langsung study dari Al-quran dan Sunnah? Akan kucoba. Tapi orang-orang lain akan beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah Islam menurutku sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu!
(Catatan A Wahib, 28 Maret 1969)

Betulkah Islam sebagai agama atau sekedar pemikiran? Islam ketika menjadi sebuah pengakuan agama (ad-din) lagi-lagi merujuk pada sisi historis Muhammad dalam Al-quran; “....sebagaimana Islam telah disempurnakan sebagai agama” pada waktu Muhammad menerima wahyu Tuhan melalui perjalanan Mi’rajnya. Oleh karena masyarakat religius yang mengatakan keislamannya mengkiblat dan terpaku pada teks yang ada maka kegelisahan Islam yang disebut agama masyarakat mayoritas di Indonesia hari ini adalah Islam yang diimaninya sebatas formalitas yang inheren dengan adanya influence of environment. Kemudian Islam yang dipahami masyarakat kita tidak lagi sebagai aplikatif pengayom umat (rahmat) atau penyelamat (aslam) melainkan sebagai garda keegoisan manusia dan meluputkan dirinya berdasarkan kepercayaan yang tertanam dalam lingkungan, keluarga, dan penceramah-penceramah yang lain.

Tidak adanya kebebasan berpikir10 dan selalu terhambat dengan dogmatisme ajaran-ajaran lampau yang tidak responsif terhadap perkembangan zaman.

Apakah Islam berarti kepasrahan dan ketundukan jika agama=Islam adalah ikatan norma yang cenderung merambah pada nilai-nilai yang selalu memformulasikan psikologis manusia-sisi positifisme kehidupan surgawi? Sebuah kesalahan jika Islam dan agama dicampuradukan pada satu kesatuan majemuk (universal) oleh para tokoh-tokoh Islam, cendikiawan, sebab mereka rata-rata (everage) memiliki sudut pandang dan kepentingan ekspansi ukhwah (penyebarluasan) yang lebih mendasarkan pada kepentingan agama-agamanya bukan Perubahan Pemikiran Islamnya. Memang ada benarnya kalau Ibn Khaldun dalam The Muqadimahnya11 mengatakan bahwa manusia harus melembagakan dirinya dalam sebuah wadah yang disebut organisasi (ashabiyah) karena dengan jalan itu dapat memerankan dirinya sebagai makhluk sosial (social humanity) yang beradab. Keharusan ini disebabkan adanya eksistensi manusia dalam konsepnya menuju nilai kesempurnaan (Al-ijtima’ li an-naw’i al-insani). Tetapi terlepas dari jubah agama masing-masing melainkan yang ada hanyalah kedewasaan rethingking dalam pembaharuan yang satu yaitu; jiwa kebesaran dan kesatuannya.

Kalau kita simak akhir-akhir ini misalnya, dalam ormas Islam, NU dan Muhammadiyah maupun Persis, Ahmadiyah, maupun Kristen, Hindu, Konghucu, Budha, Katholik, mereka tidak sepenuhnya membaca kultur-budaya-suku-geneologi-yang tertanam ratusan tahun silam di Indonesia. Ada yang lalai, maka akibatnya agama (Islam-non Islam) terkonstruk sedemikian rupa dengan berbagai motif pergerakan sosial dan politik. Alih-alih sebagai gerakan dinamis yang seolah-olah datang dengan penyegaran dan pembaharu moralitas manusia justru jauh dari pagar dan tembok uswatun hasah Muhammad (dalam Islam) yang dalam kiprahnya berpegang keislaman (Allah) ataupun kebijakan humanity. Tdak mengkiblat pada “mengutamakan kepentingan umum dibandingkan individu”. Islam, misalnya, yang seharusnya lebih konsern pada; bagaimana umat di dunia mampu memahami kebersamaan hidup, toleran (kelapangdadaan) dan saling menghormati serta tolong-menolong12 antar sesama umat malah menjadi absurditas dan terpetak-petak, terpecah belah dalam visi-misi organisasi kedaerahan, keislaman atau kelembagaan politik tertentu. Semakin jauh meninggalkan rel-rel konotasi dan denotasi keislamanya, agama yang menginginkan kedamaian sebagai pelindung bagi kaum Indonesia. Jadi Islam yang notabenenya agama mayoritas belum mampu menjadi pengayom kaum minoritas (rahmatan lil alamin). Masih berkutat dalam konflik internalisasi kerapuhan ideologis individu.

Bangsa ini bagian dari subislamisme yang harus terangkai dengan objektifitas kerukunan. Mengapa demikian? Bahwa bangsa ini membutuhkan nyali dan keyakinan teguh untuk memperbaharui kelayakan hidup masyarakatnya. Jika Islam cenderung eksklusif dalam mensikapi zamannya maka nilai-nilai yang terkandung dalam Islam tidak dapat dikatakan sebagai agama pembawa kebaharuan dan penyeimbang dalam akselerasi memperjuangkan hak-hak umat manusia. Justru akan terjerambab inklusifisme pahlawan dalam kandang kecil.

Apakah Islam dalam korelasi agama dan bangsanya selalu didakwahkan di masjid-masjid, syuro-syuro dan majlis-majlis ta’lim lainnya dengan segudang dalih sudah cukup mampu menjawab persoalan ketimpangan agama, ekonomi, politik, militerisme, multikulturalisme, dll? Bid’ah bukan sebuah lasan dan jawaban, tapi kemunduruan Islam sendiri nampak jelas diakibatkan dalam mencari kebenaran mengalami stagnasi pemikiran orientasi pengembangan ke depan. Maka dengan mudahnya gugur di medan pertempuran media internalisasi. Instrumen-indtrumen apa yang dibutuhkan Islam ke depan salah satu jawaban Wahib adalah rekonstruksi fiqih karena fiqih adalah ketangguhan Islam.

Begitu juga sebaliknya ketika agama non Islam tidak mampu memberikan sumbangsih pencerahan dalam satu lingkaran bangsa dan negara maka perpecahan, sentimentil idelisme yang berujung sparatisme yang akan ditangung manusia Indonesia.

Maka Islam, agama dan bangsa adalah ikatan yang satu dengan kaki-kaki keyakinan dan tubuh kebangsaan sebagai nafas disiplin hidup untuk umat beragama, berbangsa dan bernegara bagi keutuhan bersama dikedalaman batin kedamaian.

Pluralisme Bukan Pemikiran Islam Kiri

Sepeninggalnya tokoh Pluralisme, Nur Cholis Madjid dan Gus Dur dan tokoh-tokoh lain termasuk cendikiawan muda A Wahib, adalah refleksi di mana Islam memerankan dirinya sebagai kebebasan dalam menerima budaya lain, kepercayaan lain sebagai sub-kultur kosmis Al-quran dan Sunnah akan mengalami tantangan berat di masa mendatang. Pertama, tidak adanya motor penggerak sekaliber mereka semua dalam keberaniannya menentang dogmatisme yang tidak memberikan celah demokratis secara islami. Kedua, sulitnya memiliki basis massa atau pondasi limited group yang sama-sama memahami budaya individu adalah kebebasan nalar berpikir yang diberikan Allah bagi makhlukNya. Dan ketiga, semakin menyempitnya ruang-ruang publik dalam meneliti lebih jauh pandangan neo-modernisme sebagai sistem baru yang patut diterima dan dikontemplasikan kembali berdasarkan sosio-cultural, sosio-religious, dan sosio-economical buliding dalam bingkai kebhinekaan-yang-tunggal ika.

Gus Dur adalah santri neo-modernis dan demokrat13 memiliki karakter kecintaanya dalam dunia kepesantrenan tetapi yang perlu dicatat sebagai konstribusi kebesaran Islam Indonesia adalah perubahan dan pembaharuannya ketika masyarakat tradisional mampu dan aktif dalam mengikuti perkembangan zaman. Dia berhasil mengkritik dan mengimplikasikan dunia kepesantrenan konservatif dengan mengubahnya ke arah kosmopolit-progresif yang modernis. Bahkan mampu membawa gerbong NU menuju pencerahan dan keterbukaan terhadap kaum-kaum minoritas lain. Free-will (kebebasan manusia) menjadi tesis bagi Gus Dur dalam memperjuangkan sub-kultur Islam kepesantrenan untuk membawa nuansa kebangkitan Islam terhadap keterpurukan pengetahuan dan krisis mentalitas dan degradasi moralitas.

Di era 1970-an saat Gus Dur memiliki hubungan kedekatan dengan Nur Cholis dan Djohan Effendi maka semakin progresif militansi perjuangannya dalam menjadikan pesantren sebagai pijakan pluralismenya yang kemudian sempat menerbitkan buku yang berjudul Bunga Rampai Pesantren: Kumpulan Karya Tulis Abdurrahman Wahid pada tahun 1978.14

Pendekatan yang dilalui Gus Dur adalah tradisionalisme eksentrik-keislaman-kemasyarakatan-fiqih-syariat-yang selalu melemparkan wacana rasionalisasi kritis dan selalu mengundang kontroversial di kalangan Ulama-ulama Nahdliyin terlebih para kiai sepuh yang selalu merujuk pada keterpakuan metodis dan tekstual belaka. Sebab Gus Dur adalah sosok pemikir modern cerdas meskipun belatar belakang kental berbasis pesantren tradisional.

Nur Cholis, Djohan, Gus Dur, Wahib adalah pilar perombakan Islam menuju pembaharuan dengan cara pandang dan pikiran yang berbeda-beda namun tetap memiliki muara yang sama yaitu; “melanggengkan Islam menuju jalan kebenaran Tuhan” dengan sistem dan konsepsi renovasi pemikiran Islam-neo modernisme. Dan mereka sama-sama memiliki background pesantren meskipun dalam ruang dan waktu yang berbeda (tradisional dan modern).

Di antara mereka yang paling muda, A Wahib memiliki nalar kritis yang tajam namun sayang, ia meninggal pada usianya yang masih muda (31). Banyak yang memprediksikan jikalau Wahib dikaruniai umur panjang maka akan mengalahkan lompatan pemikiran Islam tranformatif Cak Nur bahkan kemungkinan dapat melebihi kredibilitas Cak Nur.

Bedanya Gus Dur dengan Wahib secara empirik, Wahib melemparkan kritik tajamnya, pemikiran luasnya terolah secara akademis dan bermula dari pergolatan organisatoris kemahasiswaan. Yang kemudian bergelut dalam persimpangan ideologi akademis lanjutan (limited group) meskipun tidak merampungkan studinya di Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Bagaimana konsep pemikiran Wahib dalam menjawab masalah keagamaan diantaranya terbagi dalam delapan bab; a). Pribadi yang selalu Gelisah. b). Dari Dunia Keilmuan. 3). Meneropong Politik dan Budaya. 4). Kebebasan Berpikir. 5). Modernitas dan Pembaharuan. 6). Ijtihad Kontekstual. 7). Sejarah Hidup Nabi. Dan 8). Sekularisme.15 Sedangkan Gus Dur selalu menkonsep pada piramida kultural kepesantrenan yaitu dalam lima sub judul;16 1). Kekuatan Islam Tradisonal dan Sistem Pesantren. 2). Kelemahan Islam Tradisional Saat ini di Indonesia. 3). Dinamisasi-Tanggapan Terhadap Modernisme. 5). Humanitarianisme dan Kebijakan Sosio-Politik.17

Nah, pluralisme yang meraka benturkan dalam masing-masing bab hingga sub-babnya adalah sama-sama memiliki kekuatan pengetahuan Islam implisit. Mereka mampu membaca situasi dan perkembangan zaman yang jika umat Islam tidak sadar dan peka akan adanya zona globalisasi modernisme-neo modernisme maka kelak Islam akan terpental jauh dalam lubang konservatifisme. Sehingga Islam menjadi nilai sakralisasi radikal dan kembali pada zaman Jahili (kegelapan) bukan menjawab adanya tantangan zaman (pencerahan). Pandangan demikian adalah perbedaan adanya Islam di Timur Tengah dan di Indonesia yang lebih kompleks dan memiliki segudang benturan budaya, bahasa, suku, dan lain sebagainya. Mereka mampu mengeja dinamika waktu dan meneropong lebih jauh bagaimana Islam dalam kontekstual selalu memiliki daya tangkap serta kelenturan hukum. Tidak asal menfatwakan suatu kaidah (dalil) pada sesuatu hal baru tanpa adanya telaah kritis kausalitas (dloruri/musabab).

Islam yang ada di Indonesia akan memiliki stigma sempit jika mengatakan kedua pemikiran cemerlang tersebut adalah liberalisasi Islam yang meniadakan teologi kebenaran. Islam jenis apakah yang mengatakan demikian? Bukankah Islam itu luas seluas penciptanya? Bukan sekedar kalimat melainkan pemikiran Firman Allah18. Misalnya, dalam Islam yang terlampir di pelbagai skriptualisme pewahyauan Al-quran dikatakan bahwa; Tuhan lebih suka terhadap umatNya jika mau berubah dan selalu memperbaharui sisi kehidupannya.19 Keadaan dunia yang bersifat dinamis adalah bentuk perubahan secara hukmiyah, ekologis. Maka manusia sebagai sub sistem dituntut secara sadar atau tidak untuk adaptasi dan berkaca pada cermin hukum keislaman.

Apakah ini kesalahan jika sifat kritis yang terlahir adalah transisi oposisi biner dalam Islam. Mengapa harus terjadi proses penciptaan manusia yang berbeda, berpola pikir dan berkonstruksi ideologis. Apakah harus saling mengenal dalam bentuk ideologi atau bagaimana? Bukankah ideologi adalah hasil pemikiran manusia Islam yang bertendensi pada historical setting semula?

Maka ada benarnya dan sangat wajar jika Wahib kemudian menggugat Islam tentang adanya Muhammad sebagai Rasul di era modern. Bagaimana jika Muhammad terlahir pada zaman sekarang? Apakah Muhammad memiliki jawaban historis (hadist) yang sama antara zaman dahulu dan sekarang? Tentu jawabannya akan mengarah pada perbedaan pola, format dan agenda. Bisa juga Al-quran dan Sunnah sebagai dongeng atau riwayat kehidupan Muhammad harus direvisi ulang sesuai konteks sekarang. Peradaban yang beda akan melahirkan sejarah yang beda meskipun nilainya tetap sama. Tuhan pun akan sepakat jika sifat Ariefnya selalu terbaca oleh manusia semua.

Wahib berargumentasi terhadap ruang bawah sadarnya tetapi dia sadar akan nalar pemikirannya. Ketika dia mencoba meminta dengan dirinya untuk dialog dengan Tuhan melalui mediasinya, bahwa Al-quran dapat digambarkan sebagai sabda yang harus di telusuri tanpa henti. Begitu pula Islam yang hanya sebatas dipahami sebagai sikap kepasrahan dan ketundukan, maka Wahib tidak puas dengan jawaban-jawaban itu. Fenomenologi politik, budaya, ekonomi yang tersegmen antara kaum elit dan bawah menjadi kegelisahan dan perhelatan jiwanya dalam pandangan Islam.

Agama, Islam, bangsa, dan umat adalah sumber perubahan rangkaian infrastruktur dan suprastrukur yang mengalami dinamisasi poros waktunya. Neo-modernisme adalah jawaban bagi Wahib yang terlontarkan dengan predikat Islam sebagai tonggak dan nafas di mana masyarakat madani tidak tergopoh-gopoh ketika tantangannya sudah di ambang pintu dan memasuki relung-relung jendela Indonesia.

“Jika harimau mati meninggalkan belangnya maka Wahib mati meninggalkan pergolakan pemikiran keislamannya bagi kita dan bangsanya”.


Daftar Pustaka

Arnold Toynbee, A Study of History (Second Impression), Oxford Univesity Press, 1955
Ahmad Kaftan Dar Afnan, Syirah Rasulillah, Damaskus, 1996
Q,.s Al Baqoroh (2:30)
Q,.s Ali Imran (3:19)
Q,.s Al Ahzab (32:21)
Q,.s. Al Maidah (5: 2)
Q,.s. Ar Rum (30:30)
Q.,s. Yunus (10: 101)
Q,.s. Al Ra’d (13:11)
Dr, Nur Cholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1995
Dr. Nur Cholis Madjid et. al, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern; Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, Media Cita, Jakarta, 2000
Greg Burton, Ph.D, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Paramadina, Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Jakarta, 1999
Muqaddimah Ibn Khaldun, Pentj, Ahmadie Thoha, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986
Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib, 1981, LP3ES, Jakarta, Cetakan ke-2, hal. 110
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, Jakarta, 2001

1. Lih. Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib, 1981, LP3ES, Jakarta, Cetakan ke-2, hal. 1
2. Ibid., hal. 317
3. Ibid., hal. 317
4. Q.,s. Yunus (10: 101), “Katakanlah: perhatikan olehmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, tanda-tanda dan peringatan itu tidak ada berguna bagi golongan manusia yang tidak percaya”.
5. Lih. Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib, 1981, LP3ES, Jakarta, Cetakan ke-2, hal. 110

6. Lih. Dr. Nur Cholis Madjid et. al, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern; Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, Media Cita, Jakarta, 2000, hal. 389-395
7. Dalam ilmu nahwu (khobar) adalah sebuah jawaban yang bersumber dari persoalan (mubtada’). Lantas, antara ‘mubtada’ dan ‘khobar harus menjadi satu rangkaian meskipun kadang-kadang mengalami persembunyian baik mubtada’nya atau khobar itu sendiri.
8. Q,.s. Ar-Rum (30:30), “ Hadapkan dengan seluruh dirimu itu kepada agama (Islam) sebagaimana engkau adalah hanief (secara kodrat melihat kebenaran, itulah fitrah Tuhan yang telah memfitrahkan manuisa padanya)”.
9. Itupun kalau disepakati sebagai kebenaran yang harus dicari seperti Wahib. Akan terasa sama jika kita mengumpulkan huruf-huruf yang berserakan di mana-mana, lalu merangkai satu persatu menjadi kata, dan kata tersebut kemudian dirangkai lagi menjadi kalimat, dan kalimat tersebut kemudian kita rangkai ulang menjadi tulisan prosa, artikel, opini, dan bahkan menjadi “teks suci”, maka prosesi yang demikian cermin petualangan manusia dalam mencari kebenaran seperti; apakah kebenaran yang selalu digelisahkan dan dicari oleh individu Wahib. Termasuk bagaimana Wahib harus mengeluarkan dirinya dari HMI pada 30 September 1969 dengan ”Momerandum pembaharuan”. Meskipun dia beda dengan keluarnya Djohan Effendy dari HMI pada 1 Desember 1969 dengan “Statemen pamitan” yang tertulis setebal 9 halaman ketik rapat (Lih. Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib, 1981, LP3ES, Jakarta, hal. 165).
10. Ibid., hal. 21
11. Lih. Muqaddimah Ibn Khaldun, Pentj, Ahmadie Thoha, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, hal 72-73.
12. Q,.s. Al-Maidah (5: 2), “......Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.....”.


13. Lih. Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, Jakarta, 2001, hal. 84-85
14. Greg Burton, Ph.D, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Paramadina, Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Jakarta, 1999, hal. 328-338
15 . Ibid., hal. 278
16 . Ibid., hal. 328-338
17. Ibid., hal. 337
18. Nur Cholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1995
19. Q,.s. Al-Ra’d (13:11) “Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email