Tradisi
10
Muharram
Islam-Jawa
Oleh:
JAMSARI
Bulan Muharram
sebagai bulan awal tahun baru Hijriyah Islam, dalam tradisi Jawa
disebut wulan
Selo
(bulan Suro) dimana ada beragam upacara sesajen,
suroan,
yang kini terbungkus melalui budaya keagamaan dengan istilah
“selamatan”
tiap tanggal 10 Suro.
Tradisi selamatan,
konon dalam Islam Jawa berasal dari kata selamet
(akar kata bahasa Arab “salam”
berarti dalam bahasa Indonesia “selamat”) sudah dilakukan
semenjak puluhan abad silam ketika agama Hindu disebarkan para
Gujarat dari India.
Beragam upacara
sakral dari upacara
bersih desa
hingga upacara nyadran
dan
sekatenan
pun masih dilakukan hingga era modern kini. Bersih desa menurut orang
Jawa dipercaya sebagai ritual tradisi yang dilaksanakan setiap tahun
sekali tepatnya wulan
selo
dengan tujuan minta restu dari arwah nenek moyang desa agar seluruh
masyarakat desa selamat (bersih) dari kolo
bendu
(marabahaya). Masyarakat membawa makanan dengan sebutan aneka macam
jajan pasar, bubur suro, rebusan umbi-umbian palawija, bunga kantil,
melati dan segala pepaes-nya
(atribut) dibawa ke makam nenek moyang atau diperempatan jalan
desa-desa untuk dipersembahkan dan beritualitas bersama-sama
masyarakat (Kepala desa dan rakyatnya).
Habitus ritual
tersebut bermaksud seperti apa yang dikatakan Clifford Geertz yaitu;
agar sawah para petani desa tidak terjangkiti hama dan hasil panen
dapat melimpah ruah untuk kebutuhan hidup masyarakat petani desa.
Sebab masyarakat Modjokuto adalah masyarakat agraria dengan irigasi
alami yang mengandalkan mata pencahariannya bersumber dari bercocok
tanam padi, bawang merah, sayur-ayuran dan sebagainya.
Upacara ini dalam
pandangan Geertz memang tidak selamanya diadakan pada bulan Suro
melainkan mengikuti pada tiap hari kelahiran atau kematian dari si
nenek moyang desa tersebut seperti yang terjadi di desa Singgahan,
Pelem, Pare Kediri (baca: The
Religion of Java).
Namun pada tiap-tiap tanggal 10 Suro sebagaian masyarakat Jawa
melakukan selamatan untuk sebuah kepercayaan adat seperti kepercayaan
kaum Islam golongan Syi’ah yang mengagungkan Husain (cucu Muhammad)
yang gugur dalam pertempuran padang Karbala yang bertepatan pada
tanggal 10 Muharram.
Modjokuto (Pare,
Kediri) menjadi tempat pilihan observasi Geertz dan delapan Sarjana
Harvard lainnya pada tahun 1950-an dimana Gerrtz menemukan
agama-agama Jawa dan kemudian membaginya dalam trikotomi Priyayi,
Santri
dan Abangan.
Di samping itu,
Geertz juga melakukan studi budaya yang mirip dengan budaya bersih
desa di Modjokuto yaitu budaya nyadran
atau
sekatenan
di bulan Selo dengan upacara larung sesaji di laut, pantai Moncar
Banyuwangi, bagian dari masyarakat pesisir di pantai selatan pulau
Jawa sebelah Timur.
Masyarakat nelayan
di Moncar Banyuwangi melakukan ritual tersebut di bulan Selo
bertujuan agar masyarakat sekitar laut dan pantai tersebut dapat
selamat dan mendapatkan hasil panen ikan yang melimpah (masyarakat
nelayan) di saat mereka mencari nafkah di laut.
Fenomena seorang
Antropolog Harvard tersebut lantas menjadi perdebatan panjang antara
masyarakat agama dan budaya di tanah Jawa. Tetapi trikotomi Priyayi,
Santri
dan Abangan,
serta peristiwa nyadran,
sekatenan
di bulan Selo yang disuguhkan oleh Geertz rupanya telah membumi dalam
pergulatan ilmu pengetahuan Antropologi dunia dan menjadi rujukan
sebagai bahan telaah (referensi) budaya khususnya budaya di tanah
Jawa.
Deritualisasi
keislaman
Dalam perkembangan
sejarah keislaman di tanah Jawa, khususnya di wilayah tengah dan
pantai selatan dalam penerapan budaya seperti di atas kini telah
mengalami euphoria atau deritualisasi keislaman. Doa-doa dalam sesaji
bersih
desa, nyadran dan
sekatenan
yang semula dilantunkan dengan tembang-tembang Jawa, mantra-mantra
Jawa, kini telah berubah menjadi perpaduan antara bahasa Jawa dan
bahasa Arab. Bercorak dan disebut Islam-Jawa.
Selain itu, tempat
upacara selamatan bersih desa yang sejatinya berada di perempatan
jalan desa dan makam leluhurnya kini masyarakat telah menggesernya di
tempat-tempat peribadatan keislaman seperti Mushala dan Masjid.
Meskipun tidak seluruhnya terjadi perpindahan tempat hal ini
menunjukkan pada perkembangan ilmu pengetahuan Antropogi masa kini
yang terfokus pada kajian budaya masyarakat telah mengalami
perkembangan globalisasi massa dalam konteks keislaman.
Perkembangan
tersebut akan menjadi perbandingan mendasar antara trikotomi Geertz
misalnya, dengan praktek masyarakat hari ini yang terjadi. Kaum
Priyayi, sebagai kaum bangsawan Jawa adalah kaum elit yang melakukan
tradisi secara elitis. Sedangkan kaum Santri sebagai seorang pencari
pengetahuan Islam pun memiliki tradisi kepesantrenan yang lekat dalam
melakukan ritual beribadah.
Beda dengan kaum
Abangan yang menjadi sorotan Geertz bahwa mereka melakukan ritual
kegamaan nampak “tabu” sebab Abangan dalam kasta agama adalah
pengikut tanpa tahu asal usul agamanya. Setahu mereka adalah Jawa
sebagai agama. Sehingga dalam praktek keseharian Abangan tidak
terpola seperti Priyayi dan Santri. Kalau ada kegiatan masyarakat
yang diikuti Santri dan Priyayi, maka Abangan terposisikan sebagai
anggota bukan pemangku khasanah keagamaan baik Jawa maupun Islam.
Muharram
Muharram, dalam
tradisi Islam Syi’ah disebut sebagai bulan suci yang memiliki nilai
sebagai pembuka tahun Hijriyah. Sebab di bulan itu konon telah
terjadi peristiwa pembantaian cucu nabi Muhammad (Husain) dalam
perang di padang Karbala tepatnya pada 10 Muharram oleh tentara
perang dinasti Umaiyah yang dipimpin Ubaidillah pada abad
pertengahan.
Muharran dalam Islam
berarti “kemuliaan”, bulan yang pertama dan mulia dalam Islam
setelah masyarakat Islam selesai menunaikan ibadah Haji dari tanah
suci Makkah.
Kemuliaan Muharram
dalam Islam di Jawa, akhir-akhir ini telah berkembang pesat bukan
hanya dalam kotak pandora kaum Santri, Priyayi, dan Abangan sebagai
bulan upacara adat, tradisi dan budaya masyarakat Jawa tetapi telah
menjadi bulan yang agung bagi umat “Islam Jawa” untuk merayakan
acara pengajian, berdoa bersama dalam sebuah Majelis Ta’lim,
Musahala, Masjid, tiap tanggal 10 Muharram.
Oleh karena itu,
selamatan seperti bersih desa, nyadran, sekatenan, kini telah melebur
menjadi satu dalam percampuran adat antara Islam dan Jawa. Upacara
tersebut bisa diadakan di makam nenek moyang, Mushala atau Masjid
dengan tradisi penggabungan kultur seperti doa, antara bahasa Jawa
dan Islam (bahasa Arab).
Setiap Jawa atau
Arab belum pasti Islam karena Islam adalah rahmatan
lil alamin
(bagi seluruh alam) bukan hanya Jawa atau Arab tetapi melingkupi
seluruh umat di dunia yang syarat akan kompleksitas budaya menuju
selamat dan damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email