Rabu, 29 Desember 2010

Muharram

Tradisi 10 Muharram Islam-Jawa
Oleh: JAMSARI

Bulan Muharram sebagai bulan awal tahun baru Hijriyah Islam, dalam tradisi Jawa disebut wulan Selo (bulan Suro) dimana ada beragam upacara sesajen, suroan, yang kini terbungkus melalui budaya keagamaan dengan istilah “selamatan” tiap tanggal 10 Suro.  
Tradisi selamatan, konon dalam Islam Jawa berasal dari kata selamet (akar kata bahasa Arab “salam” berarti dalam bahasa Indonesia “selamat”) sudah dilakukan semenjak puluhan abad silam ketika agama Hindu disebarkan para Gujarat dari India.
Beragam upacara sakral dari upacara bersih desa hingga upacara nyadran dan sekatenan pun masih dilakukan hingga era modern kini. Bersih desa menurut orang Jawa dipercaya sebagai ritual tradisi yang dilaksanakan setiap tahun sekali tepatnya wulan selo dengan tujuan minta restu dari arwah nenek moyang desa agar seluruh masyarakat desa selamat (bersih) dari kolo bendu (marabahaya). Masyarakat membawa makanan dengan sebutan aneka macam jajan pasar, bubur suro, rebusan umbi-umbian palawija, bunga kantil, melati dan segala pepaes-nya (atribut) dibawa ke makam nenek moyang atau diperempatan jalan desa-desa untuk dipersembahkan dan beritualitas bersama-sama masyarakat (Kepala desa dan rakyatnya).

Habitus ritual tersebut bermaksud seperti apa yang dikatakan Clifford Geertz yaitu; agar sawah para petani desa tidak terjangkiti hama dan hasil panen dapat melimpah ruah untuk kebutuhan hidup masyarakat petani desa. Sebab masyarakat Modjokuto adalah masyarakat agraria dengan irigasi alami yang mengandalkan mata pencahariannya bersumber dari bercocok tanam padi, bawang merah, sayur-ayuran dan sebagainya.

Upacara ini dalam pandangan Geertz memang tidak selamanya diadakan pada bulan Suro melainkan mengikuti pada tiap hari kelahiran atau kematian dari si nenek moyang desa tersebut seperti yang terjadi di desa Singgahan, Pelem, Pare Kediri (baca: The Religion of Java). Namun pada tiap-tiap tanggal 10 Suro sebagaian masyarakat Jawa melakukan selamatan untuk sebuah kepercayaan adat seperti kepercayaan kaum Islam golongan Syi’ah yang mengagungkan Husain (cucu Muhammad) yang gugur dalam pertempuran padang Karbala yang bertepatan pada tanggal 10 Muharram.

Modjokuto (Pare, Kediri) menjadi tempat pilihan observasi Geertz dan delapan Sarjana Harvard lainnya pada tahun 1950-an dimana Gerrtz menemukan agama-agama Jawa dan kemudian membaginya dalam trikotomi Priyayi, Santri dan Abangan
 
Di samping itu, Geertz juga melakukan studi budaya yang mirip dengan budaya bersih desa di Modjokuto yaitu budaya nyadran atau sekatenan di bulan Selo dengan upacara larung sesaji di laut, pantai Moncar Banyuwangi, bagian dari masyarakat pesisir di pantai selatan pulau Jawa sebelah Timur. 
 
Masyarakat nelayan di Moncar Banyuwangi melakukan ritual tersebut di bulan Selo bertujuan agar masyarakat sekitar laut dan pantai tersebut dapat selamat dan mendapatkan hasil panen ikan yang melimpah (masyarakat nelayan) di saat mereka mencari nafkah di laut.

Fenomena seorang Antropolog Harvard tersebut lantas menjadi perdebatan panjang antara masyarakat agama dan budaya di tanah Jawa. Tetapi trikotomi Priyayi, Santri dan Abangan, serta peristiwa nyadran, sekatenan di bulan Selo yang disuguhkan oleh Geertz rupanya telah membumi dalam pergulatan ilmu pengetahuan Antropologi dunia dan menjadi rujukan sebagai bahan telaah (referensi) budaya khususnya budaya di tanah Jawa.

Deritualisasi keislaman
Dalam perkembangan sejarah keislaman di tanah Jawa, khususnya di wilayah tengah dan pantai selatan dalam penerapan budaya seperti di atas kini telah mengalami euphoria atau deritualisasi keislaman. Doa-doa dalam sesaji bersih desa, nyadran dan sekatenan yang semula dilantunkan dengan tembang-tembang Jawa, mantra-mantra Jawa, kini telah berubah menjadi perpaduan antara bahasa Jawa dan bahasa Arab. Bercorak dan disebut Islam-Jawa.

Selain itu, tempat upacara selamatan bersih desa yang sejatinya berada di perempatan jalan desa dan makam leluhurnya kini masyarakat telah menggesernya di tempat-tempat peribadatan keislaman seperti Mushala dan Masjid. Meskipun tidak seluruhnya terjadi perpindahan tempat hal ini menunjukkan pada perkembangan ilmu pengetahuan Antropogi masa kini yang terfokus pada kajian budaya masyarakat telah mengalami perkembangan globalisasi massa dalam konteks keislaman.

Perkembangan tersebut akan menjadi perbandingan mendasar antara trikotomi Geertz misalnya, dengan praktek masyarakat hari ini yang terjadi. Kaum Priyayi, sebagai kaum bangsawan Jawa adalah kaum elit yang melakukan tradisi secara elitis. Sedangkan kaum Santri sebagai seorang pencari pengetahuan Islam pun memiliki tradisi kepesantrenan yang lekat dalam melakukan ritual beribadah. 
 
Beda dengan kaum Abangan yang menjadi sorotan Geertz bahwa mereka melakukan ritual kegamaan nampak “tabu” sebab Abangan dalam kasta agama adalah pengikut tanpa tahu asal usul agamanya. Setahu mereka adalah Jawa sebagai agama. Sehingga dalam praktek keseharian Abangan tidak terpola seperti Priyayi dan Santri. Kalau ada kegiatan masyarakat yang diikuti Santri dan Priyayi, maka Abangan terposisikan sebagai anggota bukan pemangku khasanah keagamaan baik Jawa maupun Islam. 
 
Muharram
Muharram, dalam tradisi Islam Syi’ah disebut sebagai bulan suci yang memiliki nilai sebagai pembuka tahun Hijriyah. Sebab di bulan itu konon telah terjadi peristiwa pembantaian cucu nabi Muhammad (Husain) dalam perang di padang Karbala tepatnya pada 10 Muharram oleh tentara perang dinasti Umaiyah yang dipimpin Ubaidillah pada abad pertengahan.

Muharran dalam Islam berarti “kemuliaan”, bulan yang pertama dan mulia dalam Islam setelah masyarakat Islam selesai menunaikan ibadah Haji dari tanah suci Makkah. 
 
Kemuliaan Muharram dalam Islam di Jawa, akhir-akhir ini telah berkembang pesat bukan hanya dalam kotak pandora kaum Santri, Priyayi, dan Abangan sebagai bulan upacara adat, tradisi dan budaya masyarakat Jawa tetapi telah menjadi bulan yang agung bagi umat “Islam Jawa” untuk merayakan acara pengajian, berdoa bersama dalam sebuah Majelis Ta’lim, Musahala, Masjid, tiap tanggal 10 Muharram.

Oleh karena itu, selamatan seperti bersih desa, nyadran, sekatenan, kini telah melebur menjadi satu dalam percampuran adat antara Islam dan Jawa. Upacara tersebut bisa diadakan di makam nenek moyang, Mushala atau Masjid dengan tradisi penggabungan kultur seperti doa, antara bahasa Jawa dan Islam (bahasa Arab). 
 
Setiap Jawa atau Arab belum pasti Islam karena Islam adalah rahmatan lil alamin (bagi seluruh alam) bukan hanya Jawa atau Arab tetapi melingkupi seluruh umat di dunia yang syarat akan kompleksitas budaya menuju selamat dan damai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email