Rabu, 29 Desember 2010

Sepak Bola; "Jago Kandang"

Kandang Para Jago” atau “Para Jago Kandang”?
Oleh: JAMSARI

Tulisan Effendi Gazali pada 28 Desember 2010 yang berjudul “Penumpang Gelap Bola Antarkampung” kiranya menukik dan tepat bidikan pada euforia nasionalisme persepakbolaan kita, rupa-ruapnya telah menggeser nilai-nilai nasionalisme yang sesungguhnya; yaitu janji Pak Beye dan Kapolri soal kaburnya Gayus dan nasib TKI yang tersiksa di negeri rantau, kejelasan Centurygate, mahalnya pendidikan, nasib warga Wasior, Tsunami Mentawai dan kerusakan tempat tinggal warga Sleman, Muntilan, akibat erupsi Merapi dan sebagainya.

Memang betul kata Efefendi Gazali, namun hal krusial yang luput selama piala AFF berlangsung adalah mental nasionalisme pemimpin PSSI dan pemimpin bangsa ini telah lalai dengan esensi dan tujuan nasionalisme yang sesungguhnya. Nasionalisme adalah bukan sekedar bentuk pemahaman yang ditafsirkan dengan beragam bentuk simbolik dan euforia “berlebihan” melalui pers atau sejenisnya. Tetapi nasionalisme adalah bertujuan pada peningkatan mutualisme peringkat, prestasi kemuliaan dengan kesiapan mental juara melalui semangat kebenaran dan kejujuran dalam dedikasi kualitas kebangsaan baik politik maupun permainan sepak bola.

Kira-kira kalau kita melihat beberapa liputan dan tayangan media massa menjelang final tandang ke Malaysia, khususnya swasta, kemenangan Timnas atas Filipina di GBK dalam semifinal piala AFF seolah-olah Tim Garuda Merah Putih sudah dapat dipastikan menang ketika head to head dengan Timnas Malaysia setelah menekuk Vietnam, dengan catatan terpentingnya sewaktu babak penyisihan grup, Timnas kita telah melahap Timnas Malaysia 5-1.

Tolak ukurnya bukan disitu tetapi kesiapan mental juara harus melampaui uji nyali di laga tandang di Stadion Bukit Jalil Malaysia dan leg di GBK pada babak final. Artinya Timnas masih memikul beban mental juara yang harus dibuktikan kenasinonalismeannya lewat pertandingan tandang dan leg. Dan bukti itu telah terjawab dengan kemenangan Timnas Malaysia 3-0 atas Timnas kita pada ssat laga tandang. Meskipun saya yakin Tim asuhan Alfred Riedl sudah berusaha semaksimal mungkin walaupun terganggu dengan euforia media massa, istighosah, dan seabrek jamuan para elit politik sebelum pertandingan tandang dan gangguan laser pada kiper Markus di saat bermain.

Nasionalisme sepak bola bukan milik PSSI atau pemimpinnya melainkan milik Tim yang berkarakter tangguh dengan skil yang berkualitas dan keberanian mental atas dorongan rasa keindonesiaan bukan Tim yang dipolitisasi dengan manuver-manuver politik pencitraan dan iming-iming jabatan struktur maupun materi. Ini akan terbukti ketika laga leg selanjutnya di GBK. Bukan persoalan menang atau kalah, namun mampukah Timnas membuktikan diri bukan “jago kandang” tapi “kandangnya jago”?

Tak hanya itu, tetapi aspek terpentingnya adalah bagi kelanjutan Timnas dalam persepakbolaan di kawasan Asia maupun dunia.

Kematian naionalisme
Nasionalisme dalam sepak bola jelas bertumpu pada skil para pemain, kesiapan mental tandang dan leg, kerjasama tim, dan sejauhmana strategi, taktik, teknis dari pelatihnya bukan pemimpin PSSI atau para politisinya. Artinya pemimpin PSSI maupun politik atau Pak Beye tidak berpengaruh pada kemampuan para pemain dalam lapangan sepak bola.

Nasionalisme seorang pemimpin politik atau PSSI seharusnya sadar dan tahu diri dimana perbedaan antara wilayah lapangan sepak bola dan lapangan politik. Sebab dalam sejarah sepak bola di dunia sekali pun tak ada campur tangan politik dalam sepak bola karena politik adalah wilayah beda lapangan dengan sepak bola. Bagi pemimpin PSSI barangkali yang perlu diperhatikan adalah kesejahteraan para pemain dan kesiapannya untuk bertanding atas instruksi pelatih bukan menejer bolanya. Sebab kondisi psikologis, kesiapan mental dan kapasitas para pemain Tim Garuda Merah Putih pada masing-masing posisi permainan adalah Alfred Riedl bukan manajer bola atau pemimpin PSSI-nya bahkan pemimpin politik.

Selain itu, akibat euforia sepak bola yang berlebihan telah “menasionalismekan” lapisan masyarakat penggila bola semakin tidak bagus, dan itu terbukti melalui teknis manajerial kesemerawutan panitia pelayanan penjualan tiket selama piala AFF di stadion GBK berimbas kericuhan-anarkis, berjatuhan korban pingsan akibat antrean panjang pembelian tiket yang tak terorganisir dengan tepat.

Euforia sepak bola kita dan campur tangan para politisi adalah sebuah kematian bagi nasionalisme itu sendiri. Pertama, bola bukan urusan politik tetapi urusan kematangan skil, mental, dan prestasi fisik sebagai cermin kekuatan rasa kemampuan diri suatu bangsa dalam sepak bola dunia. Maka nasionalisme bola adalah nasionalisme kualitas dan mental.

Kedua, ketika sepak bola disebut sebagai permainan yang merakyat, posisi pemimpin rakyat tidak berhak mencampuri urusan rakyatnya secara pebuh hingga kedalaman individu permainan. Sebab akan mengakibatkan hegemoni sepak bola yang berujung pada kematian kualitas dan pengembangan skil dan mental.

Ketiga, pemimpin politik dan bangsa implisitnya harus mengurusi persoalan partai dan bangsa yang selama ini belum tuntas dan tidak melupakan janji-janjinya. Seperti apa yang dilakukan Nelson Mandela pada saat piala dunia 2010 di Afrika Selatan. Sebagai tokoh politik, tokoh pemimpin bagi rakyatnya, ia tidak pernah sama sekali mengusik persoalan sepak bola. Kalau melindungi dan menjamin keselamatan para pemain dan seluruh suporter selama pertandingan berlangsung adalah bersifat harus. Dan itu ia tidak perlu datang ke arena pertandingan. Sebab sedikit banyak akan menyita space masyarakat dan terkesan politis dan menggangu kebebasan serta ekspresi rakyat dalam menyaksikan, menyambut permainan sepak bola selama pertandingan berlangsung.

Mengapa? sebab urusan pemimpin politik dan pemimpin bangsa dalam persoalan nasionalaisme adalah tidak melupakan persoalan kaburnya Gayus, Centurygate, mahalnya pendidikan, nasib warga Wasior, Tsunami Mentawai dan kerusakan tempat tinggal warga Sleman, Muntilan, akibat erupsi Merapi dan sebagainya.

Jadi, antara nasionalisme sepak bola dan nasionalisme pemimpin politik dan bangsa sangat berbeda dalam wilayah dan lapangannya. Oleh karena itu, biarkan sepak bola kita, Timnas Garuda Merah Putih mampu bangkit dan GBK bagi Timnas berfungsi sebagai “kandangnya para jago” bukan sebagai “jago kandang” dari pengalaman Piala Tiger, AFF dan seterusnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email