Nalar
Regenerasi Islam
Menanggapi tentang progresif NU yang berorientasikan ekonomi dan
kebangsaan dalam memaksimalkan regenerasinya (kompas, 30/10) oleh
Zuhairi Misrawi sebetulnya tidak salah dan tidak buruk untuk kemajuan
organisasi Islam sebesar NU di Indonesia. Tetapi yang menjadi kendala
dasar pemikiran bahwa NU sampai saat ini masih terbelenggu dengan
nilai-nilai tradisionalisme kental meskipun para generasi yang sudah
melanglang buana berpendidikan doktor lulusan Amerika, Kairo,
Australia, Eropa, rupanya juga tidak mampu menjawab atau memberikan
konsep penyegaran terhadap NU sendiri.
Persoalan yang menjadi hambatan tak lain yaitu; pertama, bahwa
nilai-nilai budaya, tradisi NU yang masih mengamini bait; sami’na
wa ato’na (apa kata Kiai) tak dapat dinafikan. Sense of
punishment (kuwalat) akan tetap melekat jika berani menolak atau
menentang apa kata Kiainya. Sehingga meskipun regenerasi muda NU
memiliki jumping pemikiran seperi kang Ulil Absor Abdala atau
sekaliber Max Weber bahkan Karl Marx sekalipun akan selalu tunduk dan
patuh pada sosok Kia yang notebenenya lebih dianggap sebagai panutan
umat.
Kedua, NU yang memiliki basis massa kuat dan nilai historis politik yang cukup diperhitungkan setelah dua dasawarsa kemerdekaan (1955) skala nasional. Bukan perkara mudah jika dalam takaran bangsa ini tidak dilirik oleh berbagai politikus yang ada. Di mana langkah parati politik yang terlahir dari NU meskipun fatwa para Kiai yang menyerukan NU untuk tidak berpolitik justru mereka kadang-kaadang terjebak dalam will-will politik praksis yang berakibat kemelut internal.
Ketiga, faktor primordial kasta atau latar belakang nasab (keturunan) masih amat sangat diperhitungkan. Semisal Gus Dur, jika dia bukan cucu dari pendiri NU (Hasyim Asy’ari) maka terobosan dan pemikiran Gus Dur yang demikian mengundang kontroversial dikalangan NU tidak mungkin dapat diterima dikalangan umat NU itu sendiri. Berhubung darah biru yang melekat pada Gus Dur memiliki kepercayaan absolut dan terlahir dari sosok Kiai besar sekaligus cucu pendiri NU maka apapun yang dilakukan Gus Dur, lompatan pemikirannya dalam kancah agama, politik maupun kebangsaan (puralisme) menjadi keyakinan untuk diikuti umat NU. Meskipun kesadaran itu tumbuh evolutif dan memerlukan waktu panjang serta bantahan dari kalangan Kiai sepuh dengan berbagai dalil-dalil keagamaan.
Itulah resensi NU jika kita lihat dan selama ini sudah mendarah
daging sebagai kekuatan basis massa yang kuat.
Kemudian, persoalan ekonomi dalam tubuh NU memang harus segera
dibenahi, sehingga kalangan elit NU bagaimana mampu mendidik,
mengarahkan sistem ekonomi untuk lebih maju baik dari sektor koperasi
pesantren (kopontren) maupun dana muamalah, hibah untuk kesejahteraan
umatnya. Tidak kemudian gress root NU ditinggalkan setelah
menempati posisi elit dalam pemerintahan maupun perpolitikan dalam
negeri lalu melupakannya.
Ekonomi adalah gagasan utama untuk kesejahteraan NU namun apa sistem
yang dibangun dan mampu diproyeksikan ke depan dalam NU masih
berdasarkan pada sistem bilateral fundamental klasik dan anehnya
masih marak terlaksanakan di kalangan bawah. Perubahan dengan adanya
regenerasi yang edukatif maka tingkat ekonomi makro dan mikro yang
seperti apa dan bagiamana kemudian ditunjang dengan pemahaman sumber
daya manusia untuk lebih meningkatkan etos kerja, disiplin, motivasi
serta prestasinya.
Tantangan
Real
Yang menjadi persoalan hari ini dan menjelang seabad NU dalam
kiprahnya adalah bagaiamana NU menjawab kondisi dan tantangan
zamannya dalam bingkai ke-Indonesia-an?
Sosok Gus Dur yang berani mendobrak kebangkitan pluralisme, membela
kaum minoritas dan selalu mengedepankan hak-hak asasi kemanusiaan
tanpa memandang suku, ras, dan golongan merupakan pertaruhan
pembaharu tersendiri dalam NU. Bagaimana hal demikian dapat
dilanggengakan sebagai terobosan NU ke depan. Keyakinan adanya
menghormati, menghargai dan mengimanai kepercayaan iman masing-masing
umat Indonesia adalah sangat mulia dalam pandangan NU demi tidak
terjadinya disitegrasi republik.
Hal ini apakah mampu dilestarikan kembali oleh regenarsi NU sebagai
jawaban atas nilai-nilai keislaman yang diemban oleh NU untuk umat
Indonesia.
Hal yang tak jauh beda ketika sama-sama ormas Islam terbesar di
Indonesia yaitu; Muhammadiyah bagaiamana milad seabad yang akan
dilangsungkan di Jogjakarta tahun ini dapat merangkai bangsa ini
dengan nilai-nilai humanisme kembali demi keselarasan berbangsa bagi
umat Indonesia.
Artinya kerangka agama adalalah sebagai kesepakatan untuk menjunjung
tinggi nilai-nilai kebenaran yang berorientasikan hanif
(kecenderungan baik) dan selalu bermuara pada ikhlas dan ihsan
(kebaikan).
Tidak semudah perombakan orientasi ekonomi dan kebangsaan yang ada
pada saat ini sebab jika persoalan internal dalam tubuh kedua ormas
Islam tersebut masih menyisakan segudang kemelut. Baik dari struktur
kepengurusan hinggga campur aduk persoalan keislaman yang menyangkut
kekuasaan partai politik yang terlahir dari masing-masing ormas
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email