Perlawanan
Transkeadilan di Bawah Transpolitika
Oleh:
JAMSARI
Dalam kehidupan yang
berhadapan dengan developing
of technology
bahwa seakan-akan jarak, kedekatan, waktu, tak lagi menjadi kendala
penghalang dalam melakukan hubungan interaksi antar sesama. Tandanya,
borderless
semakin mendominasi hak-hak individu untuk beraktivitas menggunakan
sarana kemajuan tekhnologi. Dan itu semua tidak berarti menjadi bebas
tanpa aturan.
Implisitnya, Pasal
29 ayat 2 Deklarasi Hak Asasi Manusia yang mengatakan; “di
dalam menjalankan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk
kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang,
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
yang layak bagi hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
syarat-syarat benar dari kesusilaan dan tata tertib umum dalam
masyarakat demokratis”,
tetap menjadi parameter rambu-rambu hak-hak asasi manusia dalam
kediriannya sebagai warga negara yang merdeka.
Dampak adanya
gelombang akselerasi perkembangan tekhnologi, dari masyarakat hingga
pemerintah pun sering dihebohkan dengan adanya pelbagai bentuk efek
dari saluran komunikasi tersebut seperti yang pernah menimpa Prita
Mulyasari melalui jejaring email sampai pada kasus KPK Antasari
melalui penyadapan. Kemajuan zaman yang serba canggih itu dalam dunia
cyber
menjadi titik pangkal keleluasaan manusia dalam menyalurkan keinginan
sosialnya baik secara komunikasi politik, ekonomi, budaya, bahkan
dalam mencari sumber-sumber bukti hukum melalui sistem penyadapan.
Penggunaan
tekhnologi penyadapan untuk kepentingan membasmi kejahatan ekonomi
sangant vital dan sudah lazim di mana-mana, di negara lain pun
begitu, termasuk penjajakan transaksi keuangan. Buktinya KPK efektif
bisa menjerat mafia peradilan dan mafia perkara yang selama ini
hampir tidak bisa disentuh aparat penegak hukum, padahal mafia ini
menghancurkan dunia hukum kita, (baca: jangan bunuh KPK).
RUU Penyadapan yang
diusilkan komisi III DPR, berdasarkan UU Telekominikasi, bahwa
penyadapan adalah perbuatan pidana. Pada Pasal 40 Undang-undang a quo
menyatakan; setiap
orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan
melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Artinya, secara
konstitusi pada Pasal 28F UUD 1945 bahwa setiap manusia berhak
mencari, memperoleh komunikasi, jaringan informasi, melakukan
hubungan komunikasi sosial, mengolah, menyimpan, serta menyampaikan
komunikasi informasi dan menggunakan segala jenis komunikasi yang
ada. Tetapi hal itu tidak serta merta menggunakan saluran dan
jaringan komunikasi melampaui hak individu dalam freedoom
exspresion.
Memang secara
konstitusi Pasal 28G UUD 1945 (ayat 1) juga dinyatakan; tiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang ada di bawah kekuasaanya serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Namun, seiring dengan berkembangnya undang-undang dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, bahwa penyadapan boleh dilakukan dalam
rangka mengungkap kejahatan dengan sebuah pertimbangan sebagai
delik-delik khusus (bijzondere
deliction)-yang
kerapkali kejahatan tersebut selalu dilakukan berjamaah,
terorganisir, dan sulit dalam pembuktiannya (Kompas, 15/07/2009).
Kemudian dalam
beberapa undang-undang di Indonesia pun sudah terterap hukum
kewenangan bagi penyidik untuk melakukan penyadapan telepon dan
perekaman pembicaraan termasuk dengan cara under
cover.
Coba kita lihat dari empat Undang-undang yang diperbolehkan melakukan
sistem under
cover
tersebut; Undang-undang Psikotropika, Undang-udang Narkotika, Tindak
Pidana Terorisme dan Undang-undang KPK.
“Virtualisasi”
Hukum
Jurgen Habermas
dalam the
theory of comunication action mengungkapkan
tentang kebenaran yang memiliki kandungan tiga aspek. (1). Kebenaran
bersifat aktual, terkait dengan sesuatu yang benar-benar terjadi dan
ada. (2). Kebenaran bersifat normatif, terkait dengan sesuatu yang
kita rasakan adil dan tidak. (3). Kebenaran yang benar dan menjadi
benar ketika kebenaran tersebut dinyatakan dengan cara yang benar.
Jika sebuah hukum
yang akan diungkap dengan sistem penyelidikan dalam penyadapan dapat
terungkap dengan cara yang benar (sesuai prosedur/rule) maka sifat
aktual, normatif sudah barang tentu dapat terungkap dengan prosesi
secara benar pula. Bahwa pesan komunikasi yang menjadi sebuah bukti
untuk memperjelas keadaan hukum adalah keabsahan bukan manipulatif.
Bagimana persoalan landing
sanksinya kita serahkan pada kejaksaan. Dan kejaksaan pun tentunya
harus adil dalam menimbang perkara tidak seperti apa yang pernah
diperankan jaksa muda Urip.
Persoalan yang
menjadi ketimpangan menyangkut UU penyadapan apakah dapat menjamin
adanya kebebasan hak asasi manusia atau justru mengekangnya? Kalau
memang diperuntukkan mencari sumber-sumber terkait persoalan hukum
apakah pihak penyelidik dapat menjaga dan mempertahankan kebenaran
ideologis hukumnya? Kemudian kalau Komisi III DPR menghendaki adanya
perubahan maupun menyoal UU penyadapan, apa yang menjadi dasar
kebijakan hukumnya, sehingga tidak meragukan publik dan hukum secara
aktual, normatif dan benar-benar ‘benar’. “Bukan sebagai jubah
anti kebakaran”.
Konsekwensi logis
hukum dalam keterkaitannya komunikasi publik memang tidak semuanya
merugikan publik asalkan ada kejelasan substansi makna denotasi/laten
dan merujuk kembali pada ranah hukum dasar UUD 45 dan Pancasila.
Tidak kemudian menjadi kewenangan hukum yang kemudian disalahgunakan
dan mengakibatkan penyelewengan sebagai jabatan publik. Lantas,
komunikasi menjadi transpolitika, salah kamar dan ditempatkan sebagai
absurditas cover publik yang ujung-ujungnya menggeret transkeadilan
pada transneed
konstruktifisme politik semata.
Pamela J Shoemaker
dan Sthepen D Reese (1991) dalam Mediating
The Massage Theory of Influences on Mass Media Content
membedah isi pesan dapat menjadi nilai dan dampak edukatif bagi
khalayak sesuai apa yang dikatakan Laswell. Tetapi dalam diskursus
politik dan benturan ruang publik, komunikasi yang dijadikan kekuatan
tunggal dalam arus pesan suatu hukum maka demokrasi yang demikian
akan melahirkan apakah komunikasi wacana itu memiliki relatif value
demokrasi dalam ketentuan hukumnya?
Foucoult dalam teori
geneologinya menjelaskan kalau pengetahuan (tekhnologi komunikasi)
tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan maka arti relasi kekuasaan dan
pengetahuan saling terikat. Demokratisasi yang mewacanakan politik
komunikasi tetap memiliki substansi kebebasan dan ketepatan guna oleh
pihak pengguna kendatipun UU penyadapan menjadi bagian dari aparatus
ideologi negara untuk menciptakan kondusif hukum yang tidak
mengurangi rasa humanisme dan keadilan sosial.
Jadi,
komunikasi-penyadapan itu bukan harus disoalkan melainkan teraplikasi
sebagai sarana tepat guna untuk melihat neraca kebenaran hukum secara
demokratis tanpa melampaui aturan UU Hak Asasi Manusia serta tidak
menyudutkan kekuatan ideologi hukum UUD 45 dan Pancasila sebagai
jaminan sosial masyarakat hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email