Jumat, 02 Desember 2011

Resensi Buku Ideologi Islam dan Utopia


Molly; Membaca Ideologi Islam dan Utopia Luthfi Assyaukanie

Peremajaan ideologi Nasionalisme, Islamisme, Komunisme, Sekularisme, liberalisme, dan sebagainya, menjadi perbincangan menggelitik yang tak cukup berhenti dalam satu dekade tapi dinamika tersebut menjalar di tiap-tiap paruh pengetahaun, waktu yang melahirkan generasi intelektual muslim di dunia terlebih Indonesia.
Hampir terkuak disetiap zaman, namun kontemplasi keislaman Indonesia yang lahir selalu menjadi bentuk rethingking yang dimoderatkan dari sisipan historical politic-entnografi politic, sosiologi politic, antropologi politic, budaya politic, perkembangan politic, social politic dan sebagainya. Geertz misalnya, dalam The Religion of Java memaknai peraban Islam yang terpetakan dalam trikotomi Islam, Santri dan Abangan, dan Herlbert Feith, bahwa politik awal bangkitnya Negara kesatuan Indonesia dapat terkooptasi adanya Islam yang dibenturkan dengan beragam budaya dengan konteks sub-sub culture yang mengandung Javaisme.[1]


Islamisme, dekonstruksi sosial dan agama menjadi paradigma yang paradoks jika dilihat dari kacamata sosio-kultural. Lain hanya jika ditinjau dari sosio-religius Islmaisme menjadi sudut pandang kritis tersendiri manakala dibenturkan dengan peradaban kontemporerisme dalam perspektif ideologi. Perkembangan ideologi dalam Negara Islam, konstruksi ini mengingatkan catatan Luhfi Assyaukanie dalam desertasinya yang mencoba menguarai Ideologi Islam dan Utopia. Ia mendeskripsikan Islam dalam berbagai sudut pandang komparasi, pandangan politik, fan-islami, dan Negara, sebagai upaya untuk menjawab diskursus sintesa keislaman dalam pergolatan dan pergerakan berpolitik, berukhwah, dalam catatan histories Indonesia sebagai pijakan eskatalogis berbangsa yang menganut system ideology persatuan (the republic).
Metamorfosis keislaman yang berpijak dalam politik mempunyai latar belakang berbeda-beda. Muhammadiyah misalnya, bertolak dari ajaran Islam baru yang sering disebut modern menuju moderat. Kelekatan influences (keterpengaruhan-keterpengaruhan) itu berangkat dan terlahir dari ajaran Muhammad Abduh, Jalaludin Al-afghani dan pemikir-pemikir Islam moderat Timur Tengah yang lain. Tafsir Al-manar misalnya, bagaimana menguari secara hermeneutika; mencoba mentafsirkan bahwa adanya suatu kaidah, teologi, fiqih, dan syar’i yang berbasiskan Islam menjadi perbincangan menarik dalam konteks agama dan budaya di Indonesia.
Luthfi mencoba membongkar Negara muslim dalam tiga model. Model pertama; Negara Demokrasi Islam (NDI), kedua; Negara Demokrasi Agama (NDA), dan ketiga; Negara Demokrasi Liberal (NDL).
Pertama, konstruksi Negara dalam struktur social dan politik menjadi peta tumpuan bagiamana Islam diejawantahkan sebagai dasar ideology, kekuatan primer untuk menjawab tantangan Negara Indonesia. Muslim diperankan sebagai produksi kekuatan dalam segala bentuk discourse hingga apparatus.[2] Kedua Indonesia yang disebut plural adalah sebagai titik tumpu dimana keadaan agama diartikan sebagai nilai tunggal yang tidak memiliki sekat dan batas anatara disposisi Negara dan agama. Bukan persoalan sekularisme melainkan bagaiama Negara difungsikan sebagai pengawal agama-agam yang ada sesuai rujukan UUD dan Pancasila.
Ketiga, disebut sebagai Negara demokrasi liberal, bahwa keadaan agama adalah bentuk kebebasan individu (warga Negara). Artinya sekular adalah bentuk pemjelmaan demokrasi yang tak mengikat antara iman dan kepercayaan manusia atas negaranya. Seperti model kedua bahwa nilai sekular berarti adanya unsur kebebasan terhadap warga Negara dalam aspek “beragama.” Landasan tersebut menjadi etape perumusan dan pembongkaran bahwa Negara Indonesia dalam pandangan Luthfi memiliki tiga bentuk model.  


[1] Bahwa agama dan Islam dikoordinatkan sebagai parameter utama ketika melihat perbandingan politik Islam-Islam politik dan wacana Negara Islam kultur ala Indonesia.
[2] Dalam pandangan Michael Faucalt, sistem terbentuknya sebuah Negara berarti harus tercipta secara gambaran sistem dan kepemerintahan yang berasas dan berideologi. Bahwa keberangkatan wacana harus terimplementasi terhadap siklus ideologi masing-msing Negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email