Rabu, 27 Oktober 2010

Resensi Buku

Buku Gus Dur yang Kiai: Esai-Esai Santri Ciganjur ini terbit pada Februari 2010 setelah digagas 40 hari meninggalnya Presiden RI ke-4, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur Jakarta Selatan oleh seluruh santri dan para alumni termasuk saya sendiri.

Yang Tak Lengkang Oleh Zaman adalah bentuk esai yang saya tulis ketika romantisme Gus Dur masih aktif dalam berperan sebagai intelektual muda bangsa bersama Ahmad Malik Fadjar dan Nur Cholis Madjid menjelang Muktamar NU ke 28 di Situbondo.

Buku yang dipengantari oleh Romo Frans Margin Suseno dan Gus Sholahudin Wahid (Pengasuh Pesantren Tebu Ireng Jombang) ini merupakan kisah sekaligus refleksi dan doa agar Gus Dur diterima Allah SWT dengan tenang dan bahagia di alam baka. Amien.
Selamat Jalan Gus........


Belajar dari Sang Maestro
Oleh: JAMSARI*

Macan mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama” itulah kata pepatah yang masih relevan bagi masyarakat Indonesia. Bahwa sosok manusia yang telah pergi meninggalkan dunia, hal apa yang kira-kira dapat diwariskan dalam asas manfaat kehidupam umat sebagai budaya pengetahuan untuk dijadikan pegangan bagi hajat hidup orang banyak baik dari sisi ajaran agama, budaya, demokrasi, maupun torehan perjuangan pembelaan terhadap hak-hak kaum minoritas yang tertindas.

Jika kalangan akdemis nulis buku adalah hal yang lumrah. Tapi bagi santri-santri yang diasuh Gus Dur dalam rangka memperingati hari ke-40 atas meninggalnya, para santri pesantren Ciganjur telah melahirkan sosok karya buku yang khusus dipersembahkan untuk lawatan doa; Gus Dur yang Kiai: Esai-esai Santri Ciganjur yang dipengantari oleh KH Solahudin Wahid selaku pengasuh pesantren Tebu Ireng Jombang dan Franz Margnis Suseno SJ sebagai rohaniawan.

Dari KH Solahudin Wahid mengatakan bahwa keterikatan Gus Dur dalam masyarakat memiliki pelbagai dimensi. Ada yang menyebut sosok sufi, kiai, guru bangsa, bapak pluralisme, multikultural, universal, anti-sektarianisme, kosmopolitanisme, penegak hukum dan terbuka bagi semua kalangan. Maka kemudian adik Gus Dur tersebut memberikan judul sebagai pengantarnya; Hari-hari Sunyi Tanpa Gus Dur.

Sedangkan Romo Margniz bertutur dengan santun bahwa Gus Dur adalah tokoh Islam yang demokratis, percaya diri (self confidence), positif, terbuka dan ramah. Diskripsi Gus Dur merupakan potret muslim yang humanis bahkan ketika menjadi presiden pun tetap menunjukkan karakter khas kelucuannya ketika dikunjungi beberapa tamu dari manca negara. Maka romo Margniz memotret Gus Dur dengan dua hal. Pertama, dia sebagai pembuka hubungan antar umat beragama yang harus dipupuk jangan sampai layu. ”Ibarat tanaman yang sudah tertanam lewat perjuangan dengan cucuran keringat dan air mata untuk negeri ini jangan sampai ditelantarkan tak terurus dan tidak dapat dituai buihnya”. Kedua, sebagai cermin intelektual muslim sejati yang pluralis nan cerdas, berani dan Gus Dur menjadi salah satu aset bangsa untuk ditiru oleh para generasi muda muslim di Indonesia. Kemudian rohaniawan tersebut dengan kelapangan hati berkata dalam buku tersebut sebagai judul epilognya; Gus Dur Telah Pergi.

Tak kalah pentingnya dari substansi tulisan para santri yang berlatar belakang berbeda-beda (plural), mengungkapkan sisi kedalaman batinnya yang terbagi dalam tiga bab. Bab pertama, Gus Dur dan Pengajaran Pesantren, bagaimana Gus Dur dalam pengajaran kepesantrenan diartikan bukan sebatas sosok kiai melainkan dimensional yang ternilai dari perspektif lain. Misalnya Said Aqiel Siradj membaca Gus Dur memiliki kompleksitas sistem dan cara dalam mengantarkan para santrinya dengan bermacam-macam tipikal untuk menjadi dirinya sendiri secara kultural. Ada yang dengan sistem bagaimana menulis dengan muatan nalar kritis dan dapat ditransformasikan untuk masyarakat melalui pelbagai media massa, karya buku, jurnal dan lain sebagainya.

Dimensi lain, Lukman Hakim mengatakan dalam esainya, bahwa Sufi Sejati Telah Kembali. Artinya Gus Dur yang telah meninggal dunia justru akan melahirkan paradigma sufi baru sehingga akan muncul Gus Dur- Gus Dur baru sebagai regenerasi sufiisme selanjutnya.

Dalam bab dua, Gus Dur dan Pesantren Ciganjur. Pengejawantahan yang dilakukan sosok kiai adalah mengajar dengan cara berdialog rutin setiap sabtu pagi dengan para santrinya sebagai bentuk das sin (historis) dan das solen (normatif) untuk mengkerangkakan pola pikir para santri ketika menghadapi tantangan zaman kelak. Bukan hanya itu, tadarus yang dilakukan setiap bulan Ramadhan dengan para santri dan masyarakat setempat di masjid Pancasila Jl. Warungsila No 10 Ciganjur adalah bentuk di mana dia mampu meletakkan pondasi tarbiyah (penggemblengan) bahwa pesantren harus terbuka, dapat menyatukan dirinya dalam interaksi sosial bermasyarakat. Dengan jerih payah dan ketulusan hati maka upaya para santri diharapkan bisa berperan penting dalam menciptakan stabilitas korelasi antara masyarakat satu dengan lainnya untuk kerukunan bersama.

Pada bab tiga, Gus Dur dan Santri. Di situ dipaparkan pola tradisional semi modern (recontruction-traditional) sebuah pembelajaran untuk santri di kalangan masyarakat urban dan bagimana ajaran agama Islam dalam masyarakat mainstrem kota bukan menjadi dogamtisme melainkan rahmatan lil alamin (sebagai rahmat bagi umat manusia di muka bumi). Sehingga orang awam kota yang tidak mengenal Islam dapat merasakan humanisme secara islami dengan konsepsi yang diajarkannya. Yakni; menciptakan ruang-ruang harmonisasi kultural melalui media belajar (ngaji). ‘Ngaji’ adalah bahasa kepesantrenan klasik yang dianggap sebagai warisan budaya ajaran Islam Indonesia-Jawa yang telah digelindingkan Gus Dur ditengah himpitan budaya Ibukota untuk menciptakan man of religious yang senantiasa siap dan tangguh (taqwa) dengan kondisi apapun.

Maka metodologi pembelajaran yang diinginkan Gus Dur yaitu bagimana daya dan upaya para santri agar tetap eksis di kemudian hari dan tetap memiliki ghiroh (semangat) dalam memperjuangkan nilai-nilai transformatif keislaman pada dirinya untuk menumbuhkan kesadaran sosial dalam hal agama, dan sikap toleransi terhadap golongan lain. Tidak terpatri dan terkungkung dengan hukum Islam ‘ketat ‘ namun bersifat ‘longgar’ dapat diterima dari pelbagai golongan. Esensialnya Islam bukanlah agama ekstrim-eksklusif, radikal melainkan lentur dengan bentuk dinamika perubahan sosial (social change).

Esai-esai yang tersaji untuk Gus Dur adalah embrio keberhasilan pengetahuan yang ditelorkan sosok Gus Dur kepada para santri-santrinya sebagai wacana kritis sosial tradisional menuju kontemporer. Artinya sejauh ini Gus Dur bukan hanya seorang kiai dan pejuang gerakan Islam tapi juga benar-benar memiliki jiwa pemimpin, pendidik dengan militansi kesantunan, sikap kelapangandada bagi segala lapisan serta menegakkan keadilan bagi kaum minoritas yang benar-yang terampas hak-haknya oleh kaum mayoritas.

Kehadiran buku ini menunjukkan bahwa Gus Dur tidak gagal dalam mendidik para santri-santrinya dan tak luput dalam membesarkannya melalui transformasi pengetahuan agama untuk umat dan bangsanya. Begitu juga nalar kritis yang terbangun semenjak pesantren tersebut berdiri dari tahun 1981 adalah memiliki tujuan mulia. Telaahnya, bagaimana ditengah-tengah hiruk pikuk peradaban Ibukota masih terdapat sistem pembelajaran kepesantrenan murni untuk menegakkan syiar Islam demi kemajuan masyarakat yang beradab.
Jika masyarakat sudah memiliki jalinan humanisme cerdas terhadap dunia kepesantrenan maka ini merupakan salah satu indikator keberhasilan kemajuan bangsa kita. Lalu dapat tercipta-terbina kesinambungan dalam masyarakat madani untuk lebih mengedepankan kesantunan dan perdamaian bagi umat Indonesia seperti apa yang dicita-citakan bangsa kita yaitu; ”mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Pun sama ketika Gus Dur menjadi ketua PBNU atau presiden tetap memiliki intensitas dan konsekwensi serta keteguhannya dalam membangun masyarakat yang berperadaban luas dan berani melawan arus ketidak jujuran, menegakkan kebenaran (Pemerintah/agama). Maka penggodokan santri dengan ala Gusdurianisme menjadi pondasi dasar yang signifikan dalam mencetak manusia Indonesia untuk kemajuannya.

Tiada gading yang tak retak”, maka jika dalam proses perjuangannya tidak lepas dari sandungan konflik, isu, dan persoalan lain yang merintang. Namun itu semua adalah bumbu-bumbu kehidupan dan pergolakan perjuang dan pemikiran layaknya Indonesia tercinta sebelum meraih kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945 dari ketertindasan kolonialisme.

Jadi, harapan terbesar selanjutnya, mampukah kita meneruskan, melestarikan nilai-nilai perjuangan Gus Dur yang demokratis-yang selalu berpijak pada kejujuran dan kebenaran untuk umat dan bangsanya. Apakah budaya yang diwacanakan Gus Dur dapat dikelola dengan sungguh-sungguh sehingga kerangka Indonesia yang multikultural ini dapat terjaga secara utuh untuk kejayaan Republik Indonesia selamanya.

Oleh karena itu catatan penting dalam esai-esai tersebut merupakan salah satu jawaban kegelisahan dan kekhawatiran atas meninggalnya ”bapak pluralisme yang kaia” dan pengembangan diskursus budaya bagi kalangan muda Indonesia yang terkonstruk dalam bingkai agama dan bangsa yang satu; Indonesia.

*Mahasiswa FISIP Ilmu Komunikasi Jurusan Jurnalistik UMM,
Penggiat Forum Rumah Baca Cerdas (RBC) Malang dan
Ketua Forum Madzab Djaeng Multicultural Studies and Social Sciences Malang



2 komentar:

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email