Jumat, 25 Februari 2011

Ahmadiyah juga Islam kan?

MUI: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Setelah para tokoh agama menggugat kebohongan pemerintah kini mereka kebakaran jenggot oleh insiden kekerasan Cikeusik Pandegelang Banten Jawa Barat (6/2) yang menewaskan tiga Jemaah Ahmadiyah, penyerangan dan pembakaran Gereja di Temanggung Jawa Tengah (7/2), dan penyerangan Pesantren Yapi Pasuruan (15/2).
 
Insiden tersebut adalah bola liar yang memanas jika para tokoh agama tidak mampu memadamkannya melalui cara-cara tertentu. Ketika ruang dialog antar agama sudah tak lagi dapat dijadikan medium kedamaian, maka apa jalan keluar yang akan ditempuh oleh para tokoh agama atas tindak kekerasan yang dilakukan para umatnya tersebut.
 
Pertama, para tokoh agama harus membuka jalur komunikasi lebih bebas antara tokoh agama yang terkait secara implisit. Disitulah mereka membutuhkan sosok dan peran negara atau pemerintah sebagai fasilitator untuk menyediakan ruang mediasi dan mengawal secara intensif dalam menyelesaikan insiden kekerasan yang menyinggung agama. Karena Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan antara agama dan negara melainkan Indonesia adalah negara Pancasila yang sedang membangun demokrasi dan menghargai hak-hak asasi manusia serta belajar mendewasakan demokrasi dan HAM berdasarkan UUD 45 dan Pancasila.
 
Selain itu, persoalan agama adalah persoalan individu manusia Indonesia yang bebas dalam menentukan pilihan iman dan wadah kepercayaan (agama) dengan mengakui adanya Mirza Ghulam Ahmad sebagai Rasul dan Allah sebagai Tuhannya seperti paham Ahmadiyah yang ada dalam garis demarkasi sebuah institusi bernama negara. Peran negara tidak berhak untuk mengekang kebebasan warganya untuk menentukan pilihan iman dan memeluk agama kepercayaannya kecuali paham Ahmadiyah adalah paham yang mengancam atau membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
 
Kedua, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai kepanjangan farum pem-fatwa umat Islam terkait suatu hukum fiqih, syariat, tauhid, teologi keislaman, dalam memberikan eksplorasi masalah keyakinan terhadap umat Islam di Indonesia tidak berposisi sebagai hakim agama (seolah-olah men-tuhan-kan diri) dengan melarang atau membubarkan Ahmadiyah dan berfatwa bahwa Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Sebab sesat dan tidak sesat bukan urusan MUI tetapi urusan Tuhan karena MUI sebagai lembaga fatwa bukan lembaga ke-Tuhanan.
 
Langkah, sikap dan kebijakan MUI harus bersifat lebih arif (rahmatan lil alamin) menimbang dengan kehati-hatian serta mengingat peran dan keputusan negara sebagai institusi yang tak dapat lepas dari tanggung jawab umat Indonesia dalam persoalah Ahmadiyah. Ikhwal MUI meskipun bersikap fatwa (non fisik) ketika diterjemahkan “membubarkan” atau bahwa Ahmadiyah adalah aliran “sesat” maka hal itu tak jauh beda dengan tuntutan Forum Umat Islam dan sejumlah forum-forum yang berlabelkan keislaman lain yang menuntut pemerintah di depan Bundaran Hotel Indonesia Jakarta (18/2) untuk membubarkan Ahmadiyah dan jika tidak dibubarkan maka mereka akan menggulingkan pemerintahan SBY. Sebab fatwa MUI tersebut akan didengar oleh seluruh masyarakat Indonesia khususnya Islam. Dan MUI sebagai lembaga keilmuan Islam akan berposisi sebagai perkumpulan “ekstimisme fatwa” yang dapat meretakkan harmonisasi hubungan umat Islam dalam kesatuan kebhinekaan.
 
Kesadaran di atas berdasarkan pada tesis pada; bahwa Indonesia adalah suatu negara yang berpaham dan berfalsafah Bhineka Tunggal Ika--perwujudan nilai-nilai suatu kaum baik mayoritas maupun minoritas yang syarat dan pepak (penuh) akan multikultural, multietnik, multibahasa, multiagama dan multi-multi yang lain yang tidak boleh saling menganggu bahkan membunuh antara satu umat agama terhadap umat agama lainnya. Apalagi sesama umat Islam itu sendiri yang jelas-jelas agama Islam melarangnya.

fatwa” bukan “Firman”
Agama (addin) dalam bahasa Indo-Jerman (Sansekerta) berasal dari kata “gam” yang berarti “pergi” atau “jalan.” Dengan ditambah awalan “a” dan akhiran “a” maka menjadi “agama” yang berarti “jalan.” Jalan menuju ke mana? Dalam agama Hindu adalah jalan menuju Nirwana. Dalam Islam menuju “jalan lurus.” Jadi, agama adalah wadah kepahaman manusia untuk bereksistensi dalam menaruh suatu jalan. Artinya, agama bukan wadah manusia yang berfatwa melainkan wadah fatwa (wahyu) dari Tuhan sebagai puncak kepercayaan tertinggi menuju jalan yang damai dan benar.
Oleh karena itu, dalam filsafat agama Dr. Sidi Gazalba mengatakan bahwa agama terbagi menjadi dua yaitu agama Samawi (langit) dan agama budaya (bumi), (Baca: Sistematika Filasafat). Agama Samawi adalah agama yang berdasarkan pada wahyu melalui perantara Rasul atau Nabi dan termaktub dalam sebuah firman yang turun dari langit kemudian disatukan oleh manusia menjadi teks suci seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Al-quran. Masing-masing teks adalah nilai kemurnian firman Tuhan yang akan diikuti para umat manusia sebagai petunjuk jalan hidupnya secara agamis dan bersosial kemasyarakatan. Maka agama adalah firman Tuhan bukan fatwa manusia.
 
Sedangkan agama budaya (bumi) adalah hasil sebuah sikap manusia yang menjadi ritus dan habitusnya untuk dikerjakan dan dilakukan setiap hari. Ia terlahir dalam kebudayaan manusia tanpa suatu perantara Rasul atau Nabi dan tanpa maktub teks suci dan membudaya. Kebudayaan itu disebut sebagai fatwa filosofis kemasyarakatan dengan menganut kebenaran prinsip, akal kemanusiaan bukan ke-Tuhanan. Jadi, agama budaya adalah fatwa manusia secara filosofis.
 
Maka agama budaya adalah fatwa atau hasil dialektika, retorika, dan sikap kreativitas manusia yang tidak berdasarkan tendensi kewahyuan Tuhan. Dengan tendensi tersebut ketika manusia yang memberikan kebijakan dan memutuskan suatu perkara hanya sebatas dari konstruksi budaya fiqih (kepandaian) bukan kehendak Tuhan.
 
Kalau Tuhan berkehendak mustinya melalui teks sucinya (seperti Al-quran) bukan berfilosofi menfatwakan “sesat” yang tidak bercirikan kewahyuan Tuhan, God, atau sebutan apapun tentang Tuhannya seperti sebutan Tuhannya penganut Ahmadiyah yaitu Allah Subhanahu Wataala.
 
Dalam aliran Ahmadiyah ketika mereka percaya adanya Al-quran sebagai wahyu Allah yang diturunkan melalu Muhammad maka sebetulnya mereka tidak pantas disebut aliran sesat atau harus dibubarkan. Bagaimana MUI dan negara mensikapi secara arif, bijak, bajik, rasional, demokratis dan melihat HAM atau melalui perubahan redaksional SKB tiga Menteri tahun 2008.
 
Kebijakan soal Ahmadiyah adalah kebijakan kita semua warga Indonesia dalam menanamkan falsafah Bhineka Tunggal Ika, toleransi, kerukunan, kesantunan, sikap negarawan, agamawan yang berdasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email