MUI:
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Setelah para tokoh
agama menggugat kebohongan pemerintah kini mereka kebakaran jenggot
oleh insiden kekerasan Cikeusik Pandegelang Banten Jawa Barat (6/2)
yang menewaskan tiga Jemaah Ahmadiyah, penyerangan dan pembakaran
Gereja di Temanggung Jawa Tengah (7/2), dan penyerangan Pesantren
Yapi Pasuruan (15/2).
Insiden tersebut
adalah bola liar yang memanas jika para tokoh agama tidak mampu
memadamkannya melalui cara-cara tertentu. Ketika ruang dialog antar
agama sudah tak lagi dapat dijadikan medium kedamaian, maka apa jalan
keluar yang akan ditempuh oleh para tokoh agama atas tindak kekerasan
yang dilakukan para umatnya tersebut.
Pertama,
para tokoh agama harus membuka jalur komunikasi lebih bebas antara
tokoh agama yang terkait secara implisit. Disitulah mereka
membutuhkan sosok dan peran negara atau pemerintah sebagai
fasilitator untuk menyediakan ruang mediasi dan mengawal secara
intensif dalam menyelesaikan insiden kekerasan yang menyinggung
agama. Karena Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan antara
agama dan negara melainkan Indonesia adalah negara Pancasila yang
sedang membangun demokrasi dan menghargai hak-hak asasi manusia serta
belajar mendewasakan demokrasi dan HAM berdasarkan UUD 45 dan
Pancasila.
Selain itu,
persoalan agama adalah persoalan individu manusia Indonesia yang
bebas dalam menentukan pilihan iman dan wadah kepercayaan (agama)
dengan mengakui adanya Mirza Ghulam Ahmad sebagai Rasul dan Allah
sebagai Tuhannya seperti paham Ahmadiyah yang ada dalam garis
demarkasi sebuah institusi bernama negara. Peran negara tidak berhak
untuk mengekang kebebasan warganya untuk menentukan pilihan iman dan
memeluk agama kepercayaannya kecuali paham Ahmadiyah adalah paham
yang mengancam atau membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Kedua,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai kepanjangan farum pem-fatwa
umat Islam terkait suatu hukum fiqih, syariat, tauhid, teologi
keislaman, dalam memberikan eksplorasi masalah keyakinan terhadap
umat Islam di Indonesia tidak berposisi sebagai hakim agama
(seolah-olah men-tuhan-kan
diri) dengan melarang atau membubarkan Ahmadiyah dan berfatwa bahwa
Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Sebab sesat dan tidak sesat bukan
urusan MUI tetapi urusan Tuhan karena MUI sebagai lembaga fatwa bukan
lembaga ke-Tuhanan.
Langkah, sikap dan
kebijakan MUI harus bersifat lebih arif (rahmatan
lil alamin)
menimbang dengan kehati-hatian serta mengingat peran dan keputusan
negara sebagai institusi yang tak dapat lepas dari tanggung jawab
umat Indonesia dalam persoalah Ahmadiyah. Ikhwal MUI meskipun
bersikap fatwa (non fisik) ketika diterjemahkan “membubarkan”
atau bahwa Ahmadiyah adalah aliran “sesat” maka hal itu tak jauh
beda dengan tuntutan Forum Umat Islam dan sejumlah forum-forum yang
berlabelkan keislaman lain yang menuntut pemerintah di depan Bundaran
Hotel Indonesia Jakarta (18/2) untuk membubarkan Ahmadiyah dan jika
tidak dibubarkan maka mereka akan menggulingkan pemerintahan SBY.
Sebab fatwa MUI tersebut akan didengar oleh seluruh masyarakat
Indonesia khususnya Islam. Dan MUI sebagai lembaga keilmuan Islam
akan berposisi sebagai perkumpulan “ekstimisme fatwa” yang dapat
meretakkan harmonisasi hubungan umat Islam dalam kesatuan
kebhinekaan.
Kesadaran di atas
berdasarkan pada tesis pada; bahwa Indonesia adalah suatu negara yang
berpaham dan berfalsafah Bhineka
Tunggal Ika--perwujudan
nilai-nilai suatu kaum baik mayoritas maupun minoritas yang syarat
dan pepak
(penuh) akan multikultural, multietnik, multibahasa, multiagama dan
multi-multi yang lain yang tidak boleh saling menganggu bahkan
membunuh antara satu umat agama terhadap umat agama lainnya. Apalagi
sesama umat Islam itu sendiri yang jelas-jelas agama Islam
melarangnya.
“fatwa”
bukan “Firman”
Agama (addin)
dalam bahasa Indo-Jerman (Sansekerta) berasal dari kata
“gam”
yang berarti “pergi”
atau
“jalan.”
Dengan ditambah awalan “a”
dan akhiran “a”
maka
menjadi “agama”
yang berarti “jalan.”
Jalan menuju ke mana? Dalam agama Hindu adalah jalan menuju Nirwana.
Dalam Islam menuju “jalan
lurus.”
Jadi, agama adalah wadah kepahaman manusia untuk bereksistensi dalam
menaruh suatu jalan. Artinya, agama bukan wadah manusia yang berfatwa
melainkan wadah fatwa (wahyu) dari Tuhan sebagai puncak kepercayaan
tertinggi menuju jalan yang damai dan benar.
Oleh karena itu,
dalam filsafat agama Dr. Sidi Gazalba mengatakan bahwa agama terbagi
menjadi dua yaitu agama Samawi (langit) dan agama budaya (bumi),
(Baca:
Sistematika Filasafat).
Agama Samawi adalah agama yang berdasarkan pada wahyu melalui
perantara Rasul atau Nabi dan termaktub dalam sebuah firman yang
turun dari langit kemudian disatukan oleh manusia menjadi teks suci
seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Al-quran. Masing-masing teks adalah
nilai kemurnian firman Tuhan yang akan diikuti para umat manusia
sebagai petunjuk jalan hidupnya secara agamis dan bersosial
kemasyarakatan. Maka agama adalah firman Tuhan bukan fatwa manusia.
Sedangkan agama
budaya (bumi) adalah hasil sebuah sikap manusia yang menjadi ritus
dan habitusnya untuk dikerjakan dan dilakukan setiap hari. Ia
terlahir dalam kebudayaan manusia tanpa suatu perantara Rasul atau
Nabi dan tanpa maktub teks suci dan membudaya. Kebudayaan itu disebut
sebagai fatwa filosofis kemasyarakatan dengan menganut kebenaran
prinsip, akal kemanusiaan bukan ke-Tuhanan. Jadi, agama budaya adalah
fatwa manusia secara filosofis.
Maka agama budaya
adalah fatwa atau hasil dialektika, retorika, dan sikap kreativitas
manusia yang tidak berdasarkan tendensi kewahyuan Tuhan. Dengan
tendensi tersebut ketika manusia yang memberikan kebijakan dan
memutuskan suatu perkara hanya sebatas dari konstruksi budaya fiqih
(kepandaian) bukan kehendak Tuhan.
Kalau Tuhan
berkehendak mustinya melalui teks sucinya (seperti Al-quran) bukan
berfilosofi menfatwakan “sesat” yang tidak bercirikan kewahyuan
Tuhan,
God,
atau sebutan apapun tentang Tuhannya seperti sebutan Tuhannya
penganut Ahmadiyah yaitu Allah
Subhanahu Wataala.
Dalam aliran
Ahmadiyah ketika mereka percaya adanya Al-quran sebagai wahyu Allah
yang diturunkan melalu Muhammad maka sebetulnya mereka tidak pantas
disebut aliran sesat atau harus dibubarkan. Bagaimana MUI dan negara
mensikapi secara arif, bijak, bajik, rasional, demokratis dan melihat
HAM atau melalui perubahan redaksional SKB tiga Menteri tahun 2008.
Kebijakan soal
Ahmadiyah adalah kebijakan kita semua warga Indonesia dalam
menanamkan falsafah Bhineka Tunggal Ika, toleransi, kerukunan,
kesantunan, sikap negarawan, agamawan yang berdasarkan pada
nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email