Jumat, 25 Februari 2011

Konflik yang "Dipelihara" Oknum

Keabadian Konflik

Menurut data Kompas pada 14 Februari, sejak tahun 2006 hingga Februari 2011 tercatat kurang lebih terjadi 17 insiden aksi kekerasan atas nama agama di sejumlah daerah di Tanah Air. Sebuah bukti bahwa pemerintah sangat rapuh dalam menjamin kerukunan umat beragama.
 
Dari peristiwa kekerasan Cikeusik Pandegelang Banten Jawa Barat dan Temanggung Jawa Tengah di awal tahun 2011 ini; mencolok mata seluruh publik Indonesia bahwa pemerintah kedodoran dan dengan mudahnya kecolongan start dalam mengawal kebhinekaan bangsanya oleh dugaan oknum yang dengan sengaja memainkan konflik tersebut.
 
Mengapa? Pertama, masyarakat yang masih terlilit sejumlah persoalan sosiologis dan psikis; kemiskinan, pengangguran, mahalnya biaya pendidikan, maraknya korupsi di berbagai daerah-tempat-instansi pemerintah, lemahnya penegakan hukum dan HAM, menjadi sebuah ruang dan celah sebagai “alur perbedaan” untuk menyulutkan konflik sampai pada aksi kekerasan dengan modus agama. Menurut Hannah Arendt dalam The Human Condition (1998); alur perbedaan itulah yang membuat manusia berpikir (tegang) dan bertindak (dengan) alur perbedaan itu.
 
Kedua, akibat gejolak politik dan pergolatannya di tingkat elit dan pemerintah berdampak pada habisnya energi “kemanusiaan” dan kepekaan naluri tanggung jawab (sensitive sense of responsibility) pemerintah terhadap persoalan-persoalan sensitif semacam agama, etnis, suku, dll. Akibatnya, politik mendominasi tanggung jawab pemerintah ketimbang mengurusi persoalan fundamental rakyatnya. Dalam pandangan Hannah Arendt; dari gejolak dan gejala politik tersebut, tumbuh perlawanan keabadian (eternity politic) melawan keabadian (immortalitiy politic) dan akan melanggengkan keabadian (konflik antar umat beragama).

Kejahatan
Jahat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan kelakuan, perbuatan, tabiat, yang tidak baik (jelek). Kalau berbuat jahat (berjahat) adalah seperti berbuat zina dan berbuat dosa seperti bercakap-cakap menjelek-jelekkan nama orang orang lain. Tetapi kalau “menjahati” adalah seseorang yang berbuat jahat (jelek) terhadap orang lain yang tidak bersalah dan dapat mengakibatkan orang lain berbuat jahat (jelek) pula.
 
Bagimana dengan kejahatan atas nama agama? Sebuah perbuatan yang bertentangan dengan perilaku dan norma serta hukum yang tertulis dalam aturan Undang-undang. Insiden kekerasan tersebut adalah perbuatan jahat yang hemat penulis menjadi “kejahatan” dalam tiga kategori. Pertama, kejahatan perbuatan jahat yang melanggar hukum perbuatan jahat dan wajib diproses dan dikenai sanksi hukum. Hal ini pemerintah dan pihak yang berwajib harus menangani secara tuntas dari pihak yang berseteru, penyebab, dan oknum dibalik kejahatan tersebut.
 
Kedua, kejahatan yang mengandung “sifat” jahat. Pelakunya telah menjahati diri sendiri dan manusia lain. “Sifat” jahat semacam ini mustahil jika tak bertujuan. Maka dirinya sendiri atau melalui lingkungannya yang bisa melepaskan “sifat” untuk berbuat jahat. Ketika “sifat” jahat terbentuk dari politik maka “sifat” jahat tersebut sudah menjadi tujuan dan sebagai pilahan jalan hidupnya. Artinya manusia terkerangkeng oleh “sifat” jahat dalam diirinya oleh “sifat” jahat lain untuk tujuan tertentu secara politis.
 
Ketiga, kejahatan yang mengandung dosa. Dia bertanggung jawab atas dosanya sendiri terhadap manusia dan Tuhannya jika beragama. Kesadaran ini melampaui “sifat” jahat tertinggi, sebab dan akibatnya tercermin dalam akal dan budi.
Jadi, kekerasan atas nama agama adalah bentuk murni kejahatan. Dapat dikatakan; kekerasan atas nama agama dalam tiga kategori di atas adalah duo kejahatan, pertama kejahatan terhadap Tuhan karena tidak mengindahkankan agamanya dan kedua kejahatan kemanusiaan karena menodai harkat, hakikat diri manusia dan martabat bangsa. Keduanya adalah sama-sama bermuara pada tindakan kejahatan.
 
Indonesia adalah unit (Republik). Secara agama berarti multireligius, secara budaya multicultur, secara etnis, multietnis, secara bahasa meltilanguage, secara politik multipartai, yang kesemuanya itu bernaung dalam aturan di dalam unit (UUD). Beragam kompleksitas warna tersebut Indonesia tidak dapat terhindar dari sensitivitas konflik dan segala macamnya.
 
Adanya suatu kekerasan seperti di Cikeusik Pandegelang Banten Jawa Barat dan Temanggung Jawa Tengah secara tafsir politik memiliki hipotesa ada kecurigaan terhadap dalang tindak kekerasan tersebut yang memang sengaja mensetting melalui konflik antar agama. Jika pemerintah meyakini lantas menyelidiki, menemukan, dan dapat membuktikan kebenaran ada dalang dibalik peristiwa tersebut maka jelaslah bahwa kehajatan tersebut adalah bersumber dari politik yang menyebabkan diaspora kejahatan-kejahatan terhadap individu dan hilangnya nyawa rakyat Indonesia.
 
Terlepas untuk kepentingan apa kesengajaan itu, maka yang paling utama dan paling afdhol bagaimana agar konflik tersebut tidak merembet pada terjadinya konflik-konflik susulan dengan modus multi-multi yang lain. Kedua, secepatnya diselesaikan melalui hukum yang tegas, tegak, tidak plin-plan dan memihak, serta ada kronologis kejahatan tersebut, siapa sumber dan pelakunya sehingga masyarakat memperoleh jawaban pasti. Tidak seperti persoalah mafia-mafia pajak kelas kakap yang belum tersentuh hukum sampai hari ini.
 
Atau jangan-jangan pemerintah menutupi segala bentuk ketidakmampuannya dalam menegakkan kelemahan hukum elit-elit mafia-mafia pajak, Century, kejaksaan, justru pemerintah berdalih, berapologize, meresuffle Kepala Kapolres Banten dan Temanggung. Mungkin secara redaksional akan terucap bahwa: “pemerintah berjanji akan menuntaskan persoalan kekerasan di Banten dan Temanggung secepatnya dan setuntas-tuntasnya.”
 
Alhasil, kemudian tanpa pasti kapan akan diselesaikan dan tiba-tiba di berbagai media massa televisi, koran, radio, telah berganti isu lain yang lebih heboh sehingga kasus-kasus kekerasan tersebut tertutupi kembali layakanya drama Mirandha Ghutom, Ayin, Pohan, dan mafia-mafia pajak lain, kejaksaan dan sebagainya.
 
Yang paling krusial adalah kelemahan pemerintah harus segera ditambal dengan kepastian dan kejujuran dalam mengusut, menuntaskan segala bentuk kejahatan di bumi Indonesia agar bangsa ini tidak terkatung-katung martabatnya akibat demoralisasi politik yang mengakibakan dampak-dampak negatif terhadap konflik antar agama yang membuat bangsa ini memiliki konflik kebadian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email