Keabadian
Konflik
Menurut data Kompas
pada 14 Februari, sejak tahun 2006 hingga Februari 2011 tercatat
kurang lebih terjadi 17 insiden aksi kekerasan atas nama agama di
sejumlah daerah di Tanah Air. Sebuah bukti bahwa pemerintah sangat
rapuh dalam menjamin kerukunan umat beragama.
Dari peristiwa
kekerasan Cikeusik Pandegelang Banten Jawa Barat dan Temanggung Jawa
Tengah di awal tahun 2011 ini; mencolok mata seluruh publik Indonesia
bahwa pemerintah kedodoran dan dengan mudahnya kecolongan start
dalam mengawal kebhinekaan bangsanya oleh dugaan oknum yang dengan
sengaja memainkan konflik tersebut.
Mengapa? Pertama,
masyarakat yang masih terlilit sejumlah persoalan sosiologis dan
psikis; kemiskinan, pengangguran, mahalnya biaya pendidikan, maraknya
korupsi di berbagai daerah-tempat-instansi pemerintah, lemahnya
penegakan hukum dan HAM, menjadi sebuah ruang dan celah sebagai “alur
perbedaan” untuk menyulutkan konflik sampai pada aksi kekerasan
dengan modus agama. Menurut Hannah Arendt dalam The
Human Condition
(1998); alur perbedaan itulah yang membuat manusia berpikir (tegang)
dan bertindak (dengan) alur perbedaan itu.
Kedua,
akibat gejolak politik dan pergolatannya di tingkat elit dan
pemerintah berdampak pada habisnya energi “kemanusiaan” dan
kepekaan naluri tanggung jawab (sensitive
sense of responsibility)
pemerintah terhadap persoalan-persoalan sensitif semacam agama,
etnis, suku, dll. Akibatnya, politik mendominasi tanggung jawab
pemerintah ketimbang mengurusi persoalan fundamental rakyatnya. Dalam
pandangan Hannah Arendt; dari gejolak dan gejala politik tersebut,
tumbuh perlawanan keabadian (eternity politic) melawan keabadian
(immortalitiy politic) dan akan melanggengkan keabadian (konflik
antar umat beragama).
Kejahatan
“Jahat” dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan kelakuan, perbuatan,
tabiat, yang tidak baik (jelek). Kalau berbuat jahat (berjahat)
adalah seperti berbuat zina dan berbuat dosa seperti bercakap-cakap
menjelek-jelekkan nama orang orang lain. Tetapi kalau “menjahati”
adalah seseorang yang berbuat jahat (jelek) terhadap orang lain yang
tidak bersalah dan dapat mengakibatkan orang lain berbuat jahat
(jelek) pula.
Bagimana dengan
kejahatan atas nama agama? Sebuah perbuatan yang bertentangan dengan
perilaku dan norma serta hukum yang tertulis dalam aturan
Undang-undang. Insiden kekerasan tersebut adalah perbuatan jahat yang
hemat penulis menjadi “kejahatan” dalam tiga kategori. Pertama,
kejahatan perbuatan jahat yang melanggar hukum perbuatan jahat dan
wajib diproses dan dikenai sanksi hukum. Hal ini pemerintah dan pihak
yang berwajib harus menangani secara tuntas dari pihak yang
berseteru, penyebab, dan oknum dibalik kejahatan tersebut.
Kedua,
kejahatan yang mengandung “sifat” jahat. Pelakunya telah
menjahati diri sendiri dan manusia lain. “Sifat” jahat semacam
ini mustahil jika tak bertujuan. Maka dirinya sendiri atau melalui
lingkungannya yang bisa melepaskan “sifat” untuk berbuat jahat.
Ketika “sifat” jahat terbentuk dari politik maka “sifat”
jahat tersebut sudah menjadi tujuan dan sebagai pilahan jalan
hidupnya. Artinya manusia terkerangkeng oleh “sifat” jahat dalam
diirinya oleh “sifat” jahat lain untuk tujuan tertentu secara
politis.
Ketiga,
kejahatan yang mengandung dosa. Dia bertanggung jawab atas dosanya
sendiri terhadap manusia dan Tuhannya jika beragama. Kesadaran ini
melampaui “sifat” jahat tertinggi, sebab dan akibatnya tercermin
dalam akal dan budi.
Jadi, kekerasan atas
nama agama adalah bentuk murni kejahatan. Dapat dikatakan; kekerasan
atas nama agama dalam tiga kategori di atas adalah duo
kejahatan, pertama kejahatan terhadap Tuhan karena tidak
mengindahkankan agamanya dan kedua kejahatan kemanusiaan karena
menodai harkat, hakikat diri manusia dan martabat bangsa. Keduanya
adalah sama-sama bermuara pada tindakan kejahatan.
Indonesia adalah
unit (Republik). Secara agama berarti multireligius,
secara budaya multicultur,
secara etnis, multietnis,
secara bahasa meltilanguage,
secara politik multipartai,
yang kesemuanya itu bernaung dalam aturan di dalam unit (UUD).
Beragam kompleksitas warna tersebut Indonesia tidak dapat terhindar
dari sensitivitas konflik dan segala macamnya.
Adanya suatu
kekerasan seperti di Cikeusik Pandegelang Banten Jawa Barat dan
Temanggung Jawa Tengah secara tafsir politik memiliki hipotesa ada
kecurigaan terhadap dalang tindak kekerasan tersebut yang memang
sengaja mensetting melalui konflik antar agama. Jika pemerintah
meyakini lantas menyelidiki, menemukan, dan dapat membuktikan
kebenaran ada dalang dibalik peristiwa tersebut maka jelaslah bahwa
kehajatan tersebut adalah bersumber dari politik yang menyebabkan
diaspora kejahatan-kejahatan terhadap individu dan hilangnya nyawa
rakyat Indonesia.
Terlepas untuk
kepentingan apa kesengajaan itu, maka yang paling utama dan paling
afdhol
bagaimana
agar konflik tersebut tidak merembet pada terjadinya konflik-konflik
susulan dengan modus multi-multi yang lain. Kedua,
secepatnya diselesaikan melalui hukum yang tegas, tegak, tidak
plin-plan dan memihak, serta ada kronologis kejahatan tersebut, siapa
sumber dan pelakunya sehingga masyarakat memperoleh jawaban pasti.
Tidak seperti persoalah mafia-mafia pajak kelas kakap yang belum
tersentuh hukum sampai hari ini.
Atau jangan-jangan
pemerintah menutupi segala bentuk ketidakmampuannya dalam menegakkan
kelemahan hukum elit-elit mafia-mafia pajak, Century, kejaksaan,
justru pemerintah berdalih, berapologize, meresuffle Kepala Kapolres
Banten dan Temanggung. Mungkin secara redaksional akan terucap bahwa:
“pemerintah berjanji akan menuntaskan persoalan kekerasan di Banten
dan Temanggung secepatnya dan setuntas-tuntasnya.”
Alhasil, kemudian
tanpa pasti kapan akan diselesaikan dan tiba-tiba di berbagai media
massa televisi, koran, radio, telah berganti isu lain yang lebih
heboh sehingga kasus-kasus kekerasan tersebut tertutupi kembali
layakanya drama Mirandha Ghutom, Ayin, Pohan, dan mafia-mafia pajak
lain, kejaksaan dan sebagainya.
Yang paling krusial
adalah kelemahan pemerintah harus segera ditambal dengan kepastian
dan kejujuran dalam mengusut, menuntaskan segala bentuk kejahatan di
bumi Indonesia agar bangsa ini tidak terkatung-katung martabatnya
akibat demoralisasi politik yang mengakibakan dampak-dampak negatif
terhadap konflik antar agama yang membuat bangsa ini memiliki konflik
kebadian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email