Tantangan
Film Nasional
Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan
(PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) atas Pemasukan film impor 20 persen telah berlaku. Kini
dunia film Tanah Air dihadapkan pada tantangan dunia revolusi film
nasional baik secara kualitas dan kuantitas industri (kualitas dan
kecanggihan) maupun kualitas narasi dan aksi (skenario dan
aktor-aktris).
Sebelumnya film
impor tidak dikenai bea masuk PPN dan PPh melainkan berdasarkan
panjang film tanpa memperhitungkan jenis dan harga film. Film impor
yang semula bea PPN dan PPh hanya dikenakan biaya berkisar 0.34 Dolar
AS kini berubah menjadi dikenakan bea PPN dan PPH 20 persen.
Sedangkan film
nasional untuk bea PPN dan PPh ketentuannya telah berlaku pada tahun
2009 dan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
Per-33/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Ppenghasilan
berupa Royalti dari Hasil Harya Sinematografi.
Fenomena tersebut
kalau kita tinjau dari aspek revolusi perfilm-an maka ada tantangan
masa depan film nasional dan semakin tambah larisnya film nasional.
Pertama,
berkurangnya film impor di negara kita semakin menuntut para
senimatografi tanah air dalam melahirkan karya perfilm-an dituntut
untuk lebih kreatif, inovatif, berstandar kualitas dan kuantitas film
impor (Hollywood) sebab masyarakat pecinta film kita menurut data
Lembaga Sensor Film (LSF) selama tahun 2010 terdapat 180 film impor
dan 81 film nasional yang diputar di bioskop-bioskop Tanah Air.
Artinya bukti budaya
masyarakat dalam menonton film nasional lebih sedikit daripada
menonton film impor. Dalam benak masyarakat pecinta film di tanah air
dengan berlakunya Surat Edaran Dirjen Pajak di atas akan menemukan
kekosongan panjang dan merindukan film-film berkelas Hollywood sejak
berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tersebut.
Oleh karena itu
tantangan itu di depan mata, sangat jelas otentik bagimana para
sinematografi perfilm-an nasional dituntut harus mampu mengisi
kekosongan masyarakat dengan menampilkan film-film yang bermutu,
berkualitas setaraf dengan film garapan Hollywood. Sebab selama ini
film-film nasional lebih memiliki citra produksi hanya sekedar
memenuhi pasar popular (popular
market)
sejenis dan bernuansa horor atau ulasan kisah remaja yang lebih mirip
garapan Production
House
(PH) semacam Ram Punjabi, Frame Ritz dalam bentuk “sinetron” yang
tampil memadati dunia televisi setiap hari dengan segudang iklan
komersial.
Kedua,
tak beredarnya film impor, dapat menumbuhkan masyarakat kita untuk
lebih cinta dan menikmati film nasional yang sudah ada. Tetapi
ironisnya, semakin banyak menyaksikan film buatan sendiri tanpa
adanya pembanding film impor sekelas Hollywood masyarakat pecinta
maupun penonton film Tanah Air justru akan semakin terkungkung dengan
kealpaan informasi pertumbuhan dunia film dari jagad Amerika, Eropa,
dan lain sebagainya.
Memang kemungkinan
terbesar film nasional akan semakin memadati bioskop-bioskop dan
pastinya akan semakin laku. Tetapi larisnya film nasional yang secara
kualitas jauh masih perlu belajar banyak dari garapan film impor
berkelas Hollywood maka akan semakin kentara kebosanan masyarakat
pecinta film dan akan terlihat kemunduran dunia sinematografi
perfilma-an kita akibat minimnya akses informasi film impor sebagai
tolak ukur (pembanding) kemajuan industri film kita di dunia yang
akan dinilai secara langsung oleh masyarakat pecinta film di era
pertarungan film-film modern kini.
Resolusi
Tak salah jika
kenaikan bea PNN dan PPh bagi film impor berlaku 20 persen sejak
Januari 2011 sebab jika hal tersebut tidak diberlakukan sejak dini
maka hal itu akan semakin memberikan peluang bagi para kapitalis film
asing untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya di Tanah Air. Dampak
terbesarnya lagi akan menciutkan nyali dan mematikan kreativitas para
sinematographi kita dalam menyuguhkan film karya anak bangsanya
sendiri terhadap masyarakatnya sendiri. Sebab film adalah salah satu
bentuk kemajuan komunikasi anak bangsa dalam menyampaikan suatu
pesan, baik moral, sejarah, budaya, nilai-nilai kebangsaan maupun
yang lainnya.
Kenapa PPN dan PPh
harus naik pada tahun 2011? Tidak dari dulu-dulu ketika film impor
awal masuk di belantara dunia bioskop kita? Kalau kenaikan bea PPN
dan PPh film impor yang semula hanya berdasarkan panjang, jenis, dan
harga film kemudian dinaikkan tidak berdasarkan bea PPN dan PPh ada
kecurigaan apakah pihak Dirjen Pajak dalam melakukan keputusan
tersebut sudah mempertimbangkan beberapa aspek kekosongan pada
masyarakat luas dan kecurigaan politis untuk memulihkan nama baiknya?
Pertama, industri
film. Bahwa industri film impor dan film nasional, jika industri film
nasional takut kalah bersaing serta untung ruginya dengan film impor
berarti film nasional ada semacam ketidaksiapan dalam kompetitas
dalam dunia film. Kalau persoalannya demikian mengapa tidak
dijembatani dengan melakukan kerjasama produksi, narasi, dan aksi,
antara film garapan impor dengan garapan nasional? maka akan menjadi
sebuah kompetisi perfilm-an yang saling menguntungkan antar kedua
belah pihak dan akan mnyelematakan film nasional dari ketertinggalan
mutu, kualitas dan nilai jualnya.
Peningkatan mutu,
kualitas film nasional akan bisa belajar lebih jauh dengan film impor
dan berdampak pada kepuasan masyarakat, bahwa film nasional bisa
bersaing secara kualitas, kuantitas secara sehat meskipun harus
menimba dengan sistem jalinan kerjasama produksi, narasi, dan aksi.
Kedua, Dirjen Pajak,
apakah tidak melihat betapa carut marutnya negeri ini dengan
indikator terbesarnya adalah persolan korupsi yang alah satunya
terhembus dari sosok Gayus (pegawai pajak) dan mafia-mafia pajak
lain. Belum tuntas dan redam di benak masyarakat bahwa siapapun Gayus
masyarakat menilai adalah pegawai “pajak”, dan inisial pajak
masih menjadi salah satu hipotesa terkuat masyarakat dalam
menyumbangkan dosa sejarah berupa korupsi.
Setidaknya, aspek
itu menjadi salah satu pertimbangan krusial dalam masyarakat kita
yang masih menganut budaya introspeksi diri berdasarkan nilai budi
pekerti. Kalau pihak Dirjen Pajak menaikkan harga sebelum munculnya
kasus Gayus maka nilai budi pekerti dalam Surat Edaran tersebut akan
dinilai tak sampai sejauh ini dalam hal kecurigaan politis dengan
kepentingan dan tujuan pemulihan nama baik. Wajar, tapi
mencengangkan!
Oleh karena itu,
penaikan bea PPN dan PPh bagi film impor secara bertahap dan bijak
adalah jalan terbaik bagi pihak pemerintah (Dirjen Pajak). Sebab
masyarakat akan percaya terhadap Surat Edaran Dirjen Pajak tanpa
dalih apapun jika Surat Edaran tersebut tidak jatuh setelah gemparnya
nama Gayus yang berpredikat sebagai pegawai dan “mafia pajak.”
Jadi, atas
berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011
tentang PPN dan PPh adalah tantangan kasat mata dan kesempatan bagi
dunia film nasional adalah untuk terus berkarya dalam mutu dan
kualitasnya, serta siap bersaing untuk menunjukkan bahwa kita bias
dan mampu menghasilkan karya yang terbaik untuk bangsa.
biar makin semangat, pajang banner BLOGGER MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI di blog ini, sebagai tanda bahwa kita blogger mahasiswa ilmu komunikasi UMM...
BalasHapusGabung sebagai kontributor, bebas upload tulisan. ya tinggal upload tulisan aj !!!
Jangan lupa isi form data base blogger, kunjungi:
Blog Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Kunjungan kesini juga y:
Mass mediaa and communication studies
Kalau mau download buku gratis, disini tempatnya