Jumat, 25 Februari 2011

Ancaman Dunia Perfilman

Tantangan Film Nasional

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Pemasukan film impor 20 persen telah berlaku. Kini dunia film Tanah Air dihadapkan pada tantangan dunia revolusi film nasional baik secara kualitas dan kuantitas industri (kualitas dan kecanggihan) maupun kualitas narasi dan aksi (skenario dan aktor-aktris).
 
Sebelumnya film impor tidak dikenai bea masuk PPN dan PPh melainkan berdasarkan panjang film tanpa memperhitungkan jenis dan harga film. Film impor yang semula bea PPN dan PPh hanya dikenakan biaya berkisar 0.34 Dolar AS kini berubah menjadi dikenakan bea PPN dan PPH 20 persen.
 
Sedangkan film nasional untuk bea PPN dan PPh ketentuannya telah berlaku pada tahun 2009 dan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-33/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Ppenghasilan berupa Royalti dari Hasil Harya Sinematografi.
 
Fenomena tersebut kalau kita tinjau dari aspek revolusi perfilm-an maka ada tantangan masa depan film nasional dan semakin tambah larisnya film nasional. Pertama, berkurangnya film impor di negara kita semakin menuntut para senimatografi tanah air dalam melahirkan karya perfilm-an dituntut untuk lebih kreatif, inovatif, berstandar kualitas dan kuantitas film impor (Hollywood) sebab masyarakat pecinta film kita menurut data Lembaga Sensor Film (LSF) selama tahun 2010 terdapat 180 film impor dan 81 film nasional yang diputar di bioskop-bioskop Tanah Air.
 
Artinya bukti budaya masyarakat dalam menonton film nasional lebih sedikit daripada menonton film impor. Dalam benak masyarakat pecinta film di tanah air dengan berlakunya Surat Edaran Dirjen Pajak di atas akan menemukan kekosongan panjang dan merindukan film-film berkelas Hollywood sejak berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tersebut.
 
Oleh karena itu tantangan itu di depan mata, sangat jelas otentik bagimana para sinematografi perfilm-an nasional dituntut harus mampu mengisi kekosongan masyarakat dengan menampilkan film-film yang bermutu, berkualitas setaraf dengan film garapan Hollywood. Sebab selama ini film-film nasional lebih memiliki citra produksi hanya sekedar memenuhi pasar popular (popular market) sejenis dan bernuansa horor atau ulasan kisah remaja yang lebih mirip garapan Production House (PH) semacam Ram Punjabi, Frame Ritz dalam bentuk “sinetron” yang tampil memadati dunia televisi setiap hari dengan segudang iklan komersial.
 
Kedua, tak beredarnya film impor, dapat menumbuhkan masyarakat kita untuk lebih cinta dan menikmati film nasional yang sudah ada. Tetapi ironisnya, semakin banyak menyaksikan film buatan sendiri tanpa adanya pembanding film impor sekelas Hollywood masyarakat pecinta maupun penonton film Tanah Air justru akan semakin terkungkung dengan kealpaan informasi pertumbuhan dunia film dari jagad Amerika, Eropa, dan lain sebagainya.
Memang kemungkinan terbesar film nasional akan semakin memadati bioskop-bioskop dan pastinya akan semakin laku. Tetapi larisnya film nasional yang secara kualitas jauh masih perlu belajar banyak dari garapan film impor berkelas Hollywood maka akan semakin kentara kebosanan masyarakat pecinta film dan akan terlihat kemunduran dunia sinematografi perfilma-an kita akibat minimnya akses informasi film impor sebagai tolak ukur (pembanding) kemajuan industri film kita di dunia yang akan dinilai secara langsung oleh masyarakat pecinta film di era pertarungan film-film modern kini.

Resolusi
Tak salah jika kenaikan bea PNN dan PPh bagi film impor berlaku 20 persen sejak Januari 2011 sebab jika hal tersebut tidak diberlakukan sejak dini maka hal itu akan semakin memberikan peluang bagi para kapitalis film asing untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya di Tanah Air. Dampak terbesarnya lagi akan menciutkan nyali dan mematikan kreativitas para sinematographi kita dalam menyuguhkan film karya anak bangsanya sendiri terhadap masyarakatnya sendiri. Sebab film adalah salah satu bentuk kemajuan komunikasi anak bangsa dalam menyampaikan suatu pesan, baik moral, sejarah, budaya, nilai-nilai kebangsaan maupun yang lainnya.
 
Kenapa PPN dan PPh harus naik pada tahun 2011? Tidak dari dulu-dulu ketika film impor awal masuk di belantara dunia bioskop kita? Kalau kenaikan bea PPN dan PPh film impor yang semula hanya berdasarkan panjang, jenis, dan harga film kemudian dinaikkan tidak berdasarkan bea PPN dan PPh ada kecurigaan apakah pihak Dirjen Pajak dalam melakukan keputusan tersebut sudah mempertimbangkan beberapa aspek kekosongan pada masyarakat luas dan kecurigaan politis untuk memulihkan nama baiknya?
 
Pertama, industri film. Bahwa industri film impor dan film nasional, jika industri film nasional takut kalah bersaing serta untung ruginya dengan film impor berarti film nasional ada semacam ketidaksiapan dalam kompetitas dalam dunia film. Kalau persoalannya demikian mengapa tidak dijembatani dengan melakukan kerjasama produksi, narasi, dan aksi, antara film garapan impor dengan garapan nasional? maka akan menjadi sebuah kompetisi perfilm-an yang saling menguntungkan antar kedua belah pihak dan akan mnyelematakan film nasional dari ketertinggalan mutu, kualitas dan nilai jualnya.
 
Peningkatan mutu, kualitas film nasional akan bisa belajar lebih jauh dengan film impor dan berdampak pada kepuasan masyarakat, bahwa film nasional bisa bersaing secara kualitas, kuantitas secara sehat meskipun harus menimba dengan sistem jalinan kerjasama produksi, narasi, dan aksi.
 
Kedua, Dirjen Pajak, apakah tidak melihat betapa carut marutnya negeri ini dengan indikator terbesarnya adalah persolan korupsi yang alah satunya terhembus dari sosok Gayus (pegawai pajak) dan mafia-mafia pajak lain. Belum tuntas dan redam di benak masyarakat bahwa siapapun Gayus masyarakat menilai adalah pegawai “pajak”, dan inisial pajak masih menjadi salah satu hipotesa terkuat masyarakat dalam menyumbangkan dosa sejarah berupa korupsi.
 
Setidaknya, aspek itu menjadi salah satu pertimbangan krusial dalam masyarakat kita yang masih menganut budaya introspeksi diri berdasarkan nilai budi pekerti. Kalau pihak Dirjen Pajak menaikkan harga sebelum munculnya kasus Gayus maka nilai budi pekerti dalam Surat Edaran tersebut akan dinilai tak sampai sejauh ini dalam hal kecurigaan politis dengan kepentingan dan tujuan pemulihan nama baik. Wajar, tapi mencengangkan!
 
Oleh karena itu, penaikan bea PPN dan PPh bagi film impor secara bertahap dan bijak adalah jalan terbaik bagi pihak pemerintah (Dirjen Pajak). Sebab masyarakat akan percaya terhadap Surat Edaran Dirjen Pajak tanpa dalih apapun jika Surat Edaran tersebut tidak jatuh setelah gemparnya nama Gayus yang berpredikat sebagai pegawai dan “mafia pajak.”
 
Jadi, atas berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tentang PPN dan PPh adalah tantangan kasat mata dan kesempatan bagi dunia film nasional adalah untuk terus berkarya dalam mutu dan kualitasnya, serta siap bersaing untuk menunjukkan bahwa kita bias dan mampu menghasilkan karya yang terbaik untuk bangsa.



1 komentar:

  1. biar makin semangat, pajang banner BLOGGER MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI di blog ini, sebagai tanda bahwa kita blogger mahasiswa ilmu komunikasi UMM...

    Gabung sebagai kontributor, bebas upload tulisan. ya tinggal upload tulisan aj !!!

    Jangan lupa isi form data base blogger, kunjungi:

    Blog Mahasiswa Ilmu Komunikasi

    Kunjungan kesini juga y:
    Mass mediaa and communication studies

    Kalau mau download buku gratis, disini tempatnya

    BalasHapus

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email