Aku
Malu Berkata “Islam”
Apa yang menyebabkan
kekerasan di Cikuesik Pandegelang Banten hingga menewaskan 3 Jemaah
Ahmadiyah dan tujuh orang terluka?
Diperkirakan 2.000
orang dari beberapa kecamatan di Pandegelang kemudian bersitegang
dengan beberapa orang yang berada di dalam rumah Suparman Kampung
Peundeuy, pengikut Ahmadiyah (Kompas,
7/2).
Kekerasan itu
merupakan konflik yang terindikasi melibatkan atas nama “agama”
Islam dan masyarakat setempat. Tak jauh beda dengan kasus penyerangan
warga terhadap pengurus HKBP Asia Lumban Toruan yang mengalami luka
tusuk di perut bagian atas dan Pendeta Luspida Simanjuntak mengalami
luka memar pada Minggu 12 September 2010 di Gereja Huria Kristen
Batak Protestan Pondok Timur Indah Kota Bekasi Jawa Barat.
Alhasil, “agama”
menjadi persoalan sensitif antara masyarakat satu dengan yang lain
ketika terjadi perbedaan pemahaman tanpa dasar keimanan. Padahal
dalam teologi agama apapun, agama secara etis menjadi dasar dan
pijakan bagaimana peran dan fungsi individu aktif dalam mencari
keberadaan dirinya dan bentuk kedamaian hidupnya melalui manifestasi
iman menuju pada satu dzat abadi yaitu: Tuhan.
Iman dalam
masyarakat adalah nilai kemanusiaan yang paling berharga sebab iman
akan menentukan watak baik buruk seseorang untuk berperilaku hidup
dalam lingkungan bermasyarakat dan bernegara.
Oleh karenanya dalam
hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lainnya
(bermasyarakat) akan bersinggungan dengan fakta yang selalu
dihadapkan pada titik patembayan maupun perkumpulan (kelompok)
kepentingan baik agama maupun negara. Di mana pun keadaan sosial
masyarakat Indonesia maupun dunia akan mengalami regulasi pergeseran
nilai-nilai dan etika sosial agama, sosial environment
maupun sosial need
Jadi, etika
religious sangat diperlukan untuk memupuk budaya kerukunan antar umat
beragama dalam membangun kehidupan yang bertoleransi, memahami
perbedaan, dan meredakan konflik antar agama masyarakat dengan dialog
demi tercapainya Indonesia multireligious, multicultural, dan
multietnis.
Etika religious
tersebut pada dasarnya sudah tercantum dalam UUD 45 dan Pancasila.
Namun mengapa masyarakat kita masih sering kali terdapati kekerasan
antar masyarakat yang selalu menyudutkan agama sebagai bemper
konflik? Mengapa pula pemerintah selalu tidak berusaha mencegah
konflik tetapi justru meredekan konflik setelah ketahuan adanya
kekerasan yang berbau agamis.
Kalau pemerintah
memaknai kekerasan tersebut secara hukum adalah salah satu bentuk
riminalitas sosial dan harus diproses secara hukum dengan sanksi atas
sejumlah barang bukti. Tetapi hukum itu akan berlaku normatif tanpa
etika agama dan sosial jika kekerasan tersebut berlatar belakang
adanya unsur “agama” sebagai alasan sosial masyarakat.
Etika
religious dan sosial
Peradaban umat
manusia pada lazimnya dapat digambarkan dalam organisasi
kemasyarakatan (Al-ijtima’
insani)
dalam hal keharusan. Oleh karena itu sebuah keharusan bagi manusia
untuk berorganisasi (beragama), disebabkan organisasi akan menjadi
eksistensi manusia dalam tataran konsep menuju nilai kesempurnaan
(Al-ijtima’
dloruriyun li an-naw’i al-insani),
(baca: Muqodimah Inbu Kaldun, 73-74). Dengan jalur dan sistem
kemasyarakatan tersebut maka lahirlah sebuah aturan entah berlatar
belakang secara agama maupun benturan solidaritas antar umat beragama
atau benturan solidaritas (al-ashabiyah).
Dalam teori sosial,
etika lebih menekankan adanya keberangkatan fenomena kumpulan
mental masyarakat dari sistem nyata sebuah perubahan masyarakat. Baik
jangka perubahan tersebut terjadi secara revolusi maupun evolusi.
Sedangkan beretika
dalam agama (moral) berarti konsep berdasarkan ketauhidan. Allah Maha
Tunggal, tidak ada selain Dia. Sehingga ketika manusia dikatakan
kholifah
fil ard
esensinya bahwa manusia adalah (wakil)-Nya. Sebab prinsip-prinsip
moral yang digelindingkan melalui pewahyuan kepada Nabi-nabi termasuk
Muhammad adalah ajaran moralitas yang menjadi tongkat dimana manusia
menjalankan aktivitasnya berdasarkan moral yang terbalut nilai-nilai
keagamaan.
Kalau kita runutkan
dari dua dasawarsa setelah Indonesia merdeka dan kemudian Islam
memiliki kebulatan tekad untuk lebih membebaskan umat Indonesia dari
kolonialisme maka peran Islam memiliki kiprah untuk memajukan
masyarakat yang adil dan beradab. Yang kalau kita amati seperti
halnya, perjuangan yang benar-benar dapat kita saksikan betapa
pertarungan ideologi keislaman dan komunisme yang masing-masing
melalui wadah partai Masyumi, NU, PKI dan lain sebagainya pada tahun
1955 adalah bentuk historis yang tak rampung hingga kini. Agama Islam
yang menjadi pegangan dan nafas keislaman dalam membesarkan Indonesia
pada waktu itu menjadi kekuatan utama ketika masyarakat Indonesia
harus memilih kemerdekaanya untuk mengapai cita-citanya.
Kini, Ahmadiyah
dalam kasus di atas adalah bagian masyarakat yang beragama Islam yang
percaya adanya dzat satu: Allah dengan syariat (jalan) atau cara
melakukan ritual beribadah berdeda dengan Islam yang berorganisasikan
NU, Persis, dan Muhammadiyah.
Tetapi kita kembali
pada nilai keislaman dalam masyarakat religious bahwa Ahmadiyah
adalah kepahaman “agama” Islam yang meskipun sudah terputuskan
oleh pemerintah tidak diperbolehkan disebarluaskan, namun mereka
memiliki hak perlindungan atas jaminan pemerintah atau negara.
Jaminan tersebut bukan sebatas hukum melainkan jaminan etika agama
dan etika sosial (masyarakat).
Dalam Islam kita
dikenalkan dengan berbagai arah pergolatan sosial dan agama. Pun juga
dalam kehidupan sosial bermasyarakat Indonesia akan terbentur dengan
dinamisasi rule
atau moralitas manusia yang memiliki keseimbangan berpikir antara
agama dan masyarakat.
Artinya, begaimana
sikap keseriusan pemerintah dalam meredakan konflik sosial yang
berbau agamis bukan hanya disadarkan melalui SK pemberhentian atau
larangan ajaran Ahmadiyah, tetapi dalam hal etika bergama dan etika
sosial agar tidak terjadi redudansi kekerasan atas nama agama dan
sosial.
Jika pemerintah
telah menyadari betapa kehidupan sosial masrakat dan sosial religious
adalah persoalan sensitifitas antara iman dan sosial maka etika
religious dan sosial hendaknya menjadi sebuah bangunan mental
masyarakat setelah, jika Ahmadiyah benar-benar tak lagi diakui
keberadaanya sebagai agama Islam dalam melakukan peribadatan, dan
kepercayaan terhadap Rasulnya.
Etika agama, Islam
dan sosial adalah melebur dan tunduk pada perdamaian dan jaminan
sosial pemerintah terhadap seluruh warga negaranya menuju kedewasaan
berbangsa dan bernegara pada tiap-tiap individu yang merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email