Jumat, 25 Februari 2011

Malu Berislamisasi

Aku Malu Berkata “Islam”

Apa yang menyebabkan kekerasan di Cikuesik Pandegelang Banten hingga menewaskan 3 Jemaah Ahmadiyah dan tujuh orang terluka?
Diperkirakan 2.000 orang dari beberapa kecamatan di Pandegelang kemudian bersitegang dengan beberapa orang yang berada di dalam rumah Suparman Kampung Peundeuy, pengikut Ahmadiyah (Kompas, 7/2).
 
Kekerasan itu merupakan konflik yang terindikasi melibatkan atas nama “agama” Islam dan masyarakat setempat. Tak jauh beda dengan kasus penyerangan warga terhadap pengurus HKBP Asia Lumban Toruan yang mengalami luka tusuk di perut bagian atas dan Pendeta Luspida Simanjuntak mengalami luka memar pada Minggu 12 September 2010 di Gereja Huria Kristen Batak Protestan Pondok Timur Indah Kota Bekasi Jawa Barat.
 
Alhasil, “agama” menjadi persoalan sensitif antara masyarakat satu dengan yang lain ketika terjadi perbedaan pemahaman tanpa dasar keimanan. Padahal dalam teologi agama apapun, agama secara etis menjadi dasar dan pijakan bagaimana peran dan fungsi individu aktif dalam mencari keberadaan dirinya dan bentuk kedamaian hidupnya melalui manifestasi iman menuju pada satu dzat abadi yaitu: Tuhan.
 
Iman dalam masyarakat adalah nilai kemanusiaan yang paling berharga sebab iman akan menentukan watak baik buruk seseorang untuk berperilaku hidup dalam lingkungan bermasyarakat dan bernegara.
 
Oleh karenanya dalam hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lainnya (bermasyarakat) akan bersinggungan dengan fakta yang selalu dihadapkan pada titik patembayan maupun perkumpulan (kelompok) kepentingan baik agama maupun negara. Di mana pun keadaan sosial masyarakat Indonesia maupun dunia akan mengalami regulasi pergeseran nilai-nilai dan etika sosial agama, sosial environment maupun sosial need
 
Jadi, etika religious sangat diperlukan untuk memupuk budaya kerukunan antar umat beragama dalam membangun kehidupan yang bertoleransi, memahami perbedaan, dan meredakan konflik antar agama masyarakat dengan dialog demi tercapainya Indonesia multireligious, multicultural, dan multietnis.
 
Etika religious tersebut pada dasarnya sudah tercantum dalam UUD 45 dan Pancasila. Namun mengapa masyarakat kita masih sering kali terdapati kekerasan antar masyarakat yang selalu menyudutkan agama sebagai bemper konflik? Mengapa pula pemerintah selalu tidak berusaha mencegah konflik tetapi justru meredekan konflik setelah ketahuan adanya kekerasan yang berbau agamis.
Kalau pemerintah memaknai kekerasan tersebut secara hukum adalah salah satu bentuk riminalitas sosial dan harus diproses secara hukum dengan sanksi atas sejumlah barang bukti. Tetapi hukum itu akan berlaku normatif tanpa etika agama dan sosial jika kekerasan tersebut berlatar belakang adanya unsur “agama” sebagai alasan sosial masyarakat.

Etika religious dan sosial
Peradaban umat manusia pada lazimnya dapat digambarkan dalam organisasi kemasyarakatan (Al-ijtima’ insani) dalam hal keharusan. Oleh karena itu sebuah keharusan bagi manusia untuk berorganisasi (beragama), disebabkan organisasi akan menjadi eksistensi manusia dalam tataran konsep menuju nilai kesempurnaan (Al-ijtima’ dloruriyun li an-naw’i al-insani), (baca: Muqodimah Inbu Kaldun, 73-74). Dengan jalur dan sistem kemasyarakatan tersebut maka lahirlah sebuah aturan entah berlatar belakang secara agama maupun benturan solidaritas antar umat beragama atau benturan solidaritas (al-ashabiyah).
 
Dalam teori sosial, etika lebih menekankan adanya keberangkatan fenomena kumpulan mental masyarakat dari sistem nyata sebuah perubahan masyarakat. Baik jangka perubahan tersebut terjadi secara revolusi maupun evolusi.
 
Sedangkan beretika dalam agama (moral) berarti konsep berdasarkan ketauhidan. Allah Maha Tunggal, tidak ada selain Dia. Sehingga ketika manusia dikatakan kholifah fil ard esensinya bahwa manusia adalah (wakil)-Nya. Sebab prinsip-prinsip moral yang digelindingkan melalui pewahyuan kepada Nabi-nabi termasuk Muhammad adalah ajaran moralitas yang menjadi tongkat dimana manusia menjalankan aktivitasnya berdasarkan moral yang terbalut nilai-nilai keagamaan.
 
Kalau kita runutkan dari dua dasawarsa setelah Indonesia merdeka dan kemudian Islam memiliki kebulatan tekad untuk lebih membebaskan umat Indonesia dari kolonialisme maka peran Islam memiliki kiprah untuk memajukan masyarakat yang adil dan beradab. Yang kalau kita amati seperti halnya, perjuangan yang benar-benar dapat kita saksikan betapa pertarungan ideologi keislaman dan komunisme yang masing-masing melalui wadah partai Masyumi, NU, PKI dan lain sebagainya pada tahun 1955 adalah bentuk historis yang tak rampung hingga kini. Agama Islam yang menjadi pegangan dan nafas keislaman dalam membesarkan Indonesia pada waktu itu menjadi kekuatan utama ketika masyarakat Indonesia harus memilih kemerdekaanya untuk mengapai cita-citanya.
 
Kini, Ahmadiyah dalam kasus di atas adalah bagian masyarakat yang beragama Islam yang percaya adanya dzat satu: Allah dengan syariat (jalan) atau cara melakukan ritual beribadah berdeda dengan Islam yang berorganisasikan NU, Persis, dan Muhammadiyah.
 
Tetapi kita kembali pada nilai keislaman dalam masyarakat religious bahwa Ahmadiyah adalah kepahaman “agama” Islam yang meskipun sudah terputuskan oleh pemerintah tidak diperbolehkan disebarluaskan, namun mereka memiliki hak perlindungan atas jaminan pemerintah atau negara. Jaminan tersebut bukan sebatas hukum melainkan jaminan etika agama dan etika sosial (masyarakat).
 
Dalam Islam kita dikenalkan dengan berbagai arah pergolatan sosial dan agama. Pun juga dalam kehidupan sosial bermasyarakat Indonesia akan terbentur dengan dinamisasi rule atau moralitas manusia yang memiliki keseimbangan berpikir antara agama dan masyarakat.
 
Artinya, begaimana sikap keseriusan pemerintah dalam meredakan konflik sosial yang berbau agamis bukan hanya disadarkan melalui SK pemberhentian atau larangan ajaran Ahmadiyah, tetapi dalam hal etika bergama dan etika sosial agar tidak terjadi redudansi kekerasan atas nama agama dan sosial.
 
Jika pemerintah telah menyadari betapa kehidupan sosial masrakat dan sosial religious adalah persoalan sensitifitas antara iman dan sosial maka etika religious dan sosial hendaknya menjadi sebuah bangunan mental masyarakat setelah, jika Ahmadiyah benar-benar tak lagi diakui keberadaanya sebagai agama Islam dalam melakukan peribadatan, dan kepercayaan terhadap Rasulnya.
 
Etika agama, Islam dan sosial adalah melebur dan tunduk pada perdamaian dan jaminan sosial pemerintah terhadap seluruh warga negaranya menuju kedewasaan berbangsa dan bernegara pada tiap-tiap individu yang merdeka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email