DPRD:
Ditunggangi Perusahaan Raksasa Di daerah
(Tanggapan
dan Penguatan Opini Prof. Dr. Zaenudin Maliki MSi)
Oleh:
JAMSARI
Menanggapi tulisan
Prof Dr Zainudin Maliki MSi (ZM) dengan judul Iterpelasi:
Membela Kepentingan Siapa? (Kompas, 16/12)
merupakan bentuk kepedulian dan pembelaan terhadap “ekonomi
kerakyatan” serta keresahan atas sikap DPRD Surabaya yang
mempolitisir Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 tahun 2010.
Dibalik aturan itu
menimbulkan pertanyaan jitu dan menukik terhadap kenaikan pajak
reklame yang sangat tinggi oleh Wali Kota Surabaya dan atas dasar apa
DPRD mengajukan interpelasi yang kalau boleh dikatakan jujur siapa
pemain dibalik kenaikan tarif pajak reklame dan interpelasi tersebut?
Atas kepentingan siapa pula adanya Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan
57 serta hak interpelasi DPRD?
Argument ZM yang
mengatakan: “jelas memberatkan pengusaha yang akhirnya memberatkan
masyarakat”, lantas menimbulkan pertanyaan pengusaha yang mana,
rakyatnya siapa? Justru karena menaikkan tarif pajak reklame besar
berukuran 50 meter persegi hingga 120 juta pertitik akan semakin
mengurangi intensitas kapitalisme ekonomi di Surabaya yang direncakan
para pemilik modal besar. Toh itu terbukti yang merasa keberatan atas
tarif kenaikan iklan reklame tersebut sebesar satu persen atau 167
titik reklame belum seluruhnya.
Faktanya, selama ini
hampir seluruh reklame besar di Kota Surabaya telah terpampang iklan
perusahaan-perusahaan besar dan untuk pengusaha kelas menengah hanya
mampu mengiklankan perusahaannya melalui media massa cetak dan mentok
lewat internet. Itu pun hanya dalam hitungan bulanan bukan tahunan
dan hanya beberapa perusahaan menengah yang tahu sistem pemasaran
efektif dan efisien. Bagimana kalau mereka ternyata tidak mampu
menguasai pasar melalui media periklanan? Sedangkan pengusaha kecil
hingga para penjual di pasar tradisional misalnya, justru sangat
langka bahkan hampir tidak pernah memasang iklan melalui reklame
maupun media massa.
Kesadaran akan
ekonomi pasar melalui sebuah iklan menjadi solusi efektif untuk
memperkenalkan produknya dengan tujuan persuasif terhadap massa yang
kemudian lambat laun akan menggeser etos ekonomi menengah ke bawah di
antaranya berupa pasar tradisional. Mengapa? Sebab sadar atau tidak
ketika pasar menjadi penentu sebuah kebijakan ekonomi di Kota-kota
besar seperti Surabaya maka akan berlaku hukum rimba yaitu: siapa
yang kuat dia yang menang dan siapa yang lemah dia yang kalah.
Artinya, kapitalisme
yang mengglobal dan menjajah pasar salah satunya melalui sistem
publikasi periklanan lewat reklame. Orang akan mudah mengingat dan
mudah terhipnotis melalui iklan dalam papan reklame tersebut. Apalagi
kalau iklan tersebut tersegmentasi pada kaum muda dengan memampangkan
iklan direklame besar berupa keindahan tubuh wanita dan kecantikan
wajah perempuan atau kebugaran tubuh laki-laki. Lebih tepat sasaran
kan?
Bahkan kaum
kapitalis tak segan-segan memasang iklan bukan saja melalui reklame
besar seperti di Kota Surabaya, tetapi ia juga mampu menundukkan
media massa baik cetak maupun online dengan memasang iklan
sebanyak-banyaknya. Oleh karenanya, kepentingan terbesar dalam iklan
dan publikasi produk adalah pangsa para pengusaha besar, para kaum
kapitalis yang telah membuat masyarakat Surabaya sendiri tak mampu
melawannnya.
Prisnsip kapitalisme
dalam pasar adalah profit
oriented,
bagaimana meraup keuntungan sebanyak mungkin melalui berbagai cara
termasuk melalui dunia periklanan dan birokrasi. Jadi, dimana ada
lahan dan kesempatan di situlah mereka berperan dan tak memberikan
sedikit ruang celah pasar terhadap kaum menengah dan ke bawah.
Menguasai wilayah lokal dalam dunia kapitalisme masa kini merupakan
sistem wajib baginya yaitu iklan di reklame dengan ukuran besar yang
dapat mempersuasif massa (konsumen) kelas menengah hingga ke bawah
dan akhirnya tenggelam dalam pangkuan kapitalisme.
Atau dalam dunia
dunia promosi bisa disebut bagaimana caranya agar para konsumen
terbelenggu “di antara kedua selakangan Madona”, dan terkecoh
melalui iklan sehingga nafsu rangsangan konsumen akan memutuskan
untuk membeli produk dan memilikinya.
Argumentasi Pemkot
pada DRPD Surabaya sebetulnya untuk mengurangi jumlah pemasang iklan
besar di jalur utama Kota Surabaya. Dengan demikian Kota Surabaya
menjadi lebih tertib (Komas
Jatim, 16/12).
Alasan itu sangat
manusiawi yang mencoba memberikan alternatif bagi keindahan Kota
Suarabaya agar terlihat bersih dan tertata rapi. Namun kenapa DRPD
Surabaya meminta interpelasi atas Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57
tahun 2010? Kemuskilan itu justru muncul dari DPRD yang tidak
mengkaji ulang atas kronologis lahirnya Peraturan Wali Kota Nomor 56
dan 57 tahun 2010?
DPRD semata-mata
menghukumi interpelasi sebagai normalisasi hukum tinjauan bukan
berdasarkan dari aspek kajian sosiologis. Seharusnya DPRD tanggap
secara fakta, kondisional, dan empiris atas pepaknya Kota Surabaya
serta keruwetannya atas iklan-iklan melalui reklame besar yang
berjumlah ratusan titik yang membuat pemandangan Kota tak lagi sedap.
Maka ZM mengatakan:
sepertinya DPRD Kota Surabaya khususnya pendukung interpelasi,
menutup mata terhadap langkah Pemkot Surabaya dalam menurunkan tarif
di 91 persen titik reklame.
Hal yang mustahil
bagi DPRD jika tanpa menggali dan mengkaji lebih dulu apa penyebab
munculnya Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 tahun 2010 dan
tiba-tiba mengungkitnya? Lantas interpelasi itu adalah bukan solusi
cerdas melainkan hal konyol.
Karena Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 tahun 2010 sudah
terputuskan dan sekonyong-konyongnya DPRD mengajukan hak interpelasi.
Aspek pertimbangan
besarnya kenapa DPRD tidak memberikan gambaran dengan adanya
rekalme-reklame besar yang terpampang dan memadati sudut-sudut Kota
Surabaya sehingga amat disayangkan jika kota sebesar Surabaya sebagai
barometer kehidupan metropolis di Jawa Timur masih terlihat kumuh dan
semrawut.
Jadi hemat penulis
bahwa kenaikan tarif reklame dan Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57
tahun 2010 semata-mata karena aspek kepentingan rakyat dan untuk
ketertiban Kota Surabaya bukan individu. Tetapi jika DPRD Kota
Surabaya mengajukan interpelasi justru perlu dipertanyakan ulang
ke-DPRD-annya, apakah untuk kepentingan rakyat atau individu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email