Rabu, 29 Desember 2010

DPRD

DPRD: Ditunggangi Perusahaan Raksasa Di daerah
(Tanggapan dan Penguatan Opini Prof. Dr. Zaenudin Maliki MSi)
Oleh: JAMSARI

Menanggapi tulisan Prof Dr Zainudin Maliki MSi (ZM) dengan judul Iterpelasi: Membela Kepentingan Siapa? (Kompas, 16/12) merupakan bentuk kepedulian dan pembelaan terhadap “ekonomi kerakyatan” serta keresahan atas sikap DPRD Surabaya yang mempolitisir Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 tahun 2010.
 
Dibalik aturan itu menimbulkan pertanyaan jitu dan menukik terhadap kenaikan pajak reklame yang sangat tinggi oleh Wali Kota Surabaya dan atas dasar apa DPRD mengajukan interpelasi yang kalau boleh dikatakan jujur siapa pemain dibalik kenaikan tarif pajak reklame dan interpelasi tersebut? Atas kepentingan siapa pula adanya Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 serta hak interpelasi DPRD? 
 
Argument ZM yang mengatakan: “jelas memberatkan pengusaha yang akhirnya memberatkan masyarakat”, lantas menimbulkan pertanyaan pengusaha yang mana, rakyatnya siapa? Justru karena menaikkan tarif pajak reklame besar berukuran 50 meter persegi hingga 120 juta pertitik akan semakin mengurangi intensitas kapitalisme ekonomi di Surabaya yang direncakan para pemilik modal besar. Toh itu terbukti yang merasa keberatan atas tarif kenaikan iklan reklame tersebut sebesar satu persen atau 167 titik reklame belum seluruhnya. 
 
Faktanya, selama ini hampir seluruh reklame besar di Kota Surabaya telah terpampang iklan perusahaan-perusahaan besar dan untuk pengusaha kelas menengah hanya mampu mengiklankan perusahaannya melalui media massa cetak dan mentok lewat internet. Itu pun hanya dalam hitungan bulanan bukan tahunan dan hanya beberapa perusahaan menengah yang tahu sistem pemasaran efektif dan efisien. Bagimana kalau mereka ternyata tidak mampu menguasai pasar melalui media periklanan? Sedangkan pengusaha kecil hingga para penjual di pasar tradisional misalnya, justru sangat langka bahkan hampir tidak pernah memasang iklan melalui reklame maupun media massa. 
 
Kesadaran akan ekonomi pasar melalui sebuah iklan menjadi solusi efektif untuk memperkenalkan produknya dengan tujuan persuasif terhadap massa yang kemudian lambat laun akan menggeser etos ekonomi menengah ke bawah di antaranya berupa pasar tradisional. Mengapa? Sebab sadar atau tidak ketika pasar menjadi penentu sebuah kebijakan ekonomi di Kota-kota besar seperti Surabaya maka akan berlaku hukum rimba yaitu: siapa yang kuat dia yang menang dan siapa yang lemah dia yang kalah.

Artinya, kapitalisme yang mengglobal dan menjajah pasar salah satunya melalui sistem publikasi periklanan lewat reklame. Orang akan mudah mengingat dan mudah terhipnotis melalui iklan dalam papan reklame tersebut. Apalagi kalau iklan tersebut tersegmentasi pada kaum muda dengan memampangkan iklan direklame besar berupa keindahan tubuh wanita dan kecantikan wajah perempuan atau kebugaran tubuh laki-laki. Lebih tepat sasaran kan?

Bahkan kaum kapitalis tak segan-segan memasang iklan bukan saja melalui reklame besar seperti di Kota Surabaya, tetapi ia juga mampu menundukkan media massa baik cetak maupun online dengan memasang iklan sebanyak-banyaknya. Oleh karenanya, kepentingan terbesar dalam iklan dan publikasi produk adalah pangsa para pengusaha besar, para kaum kapitalis yang telah membuat masyarakat Surabaya sendiri tak mampu melawannnya. 
 
Prisnsip kapitalisme dalam pasar adalah profit oriented, bagaimana meraup keuntungan sebanyak mungkin melalui berbagai cara termasuk melalui dunia periklanan dan birokrasi. Jadi, dimana ada lahan dan kesempatan di situlah mereka berperan dan tak memberikan sedikit ruang celah pasar terhadap kaum menengah dan ke bawah. Menguasai wilayah lokal dalam dunia kapitalisme masa kini merupakan sistem wajib baginya yaitu iklan di reklame dengan ukuran besar yang dapat mempersuasif massa (konsumen) kelas menengah hingga ke bawah dan akhirnya tenggelam dalam pangkuan kapitalisme.

Atau dalam dunia dunia promosi bisa disebut bagaimana caranya agar para konsumen terbelenggu “di antara kedua selakangan Madona”, dan terkecoh melalui iklan sehingga nafsu rangsangan konsumen akan memutuskan untuk membeli produk dan memilikinya.
Argumentasi Pemkot pada DRPD Surabaya sebetulnya untuk mengurangi jumlah pemasang iklan besar di jalur utama Kota Surabaya. Dengan demikian Kota Surabaya menjadi lebih tertib (Komas Jatim, 16/12).
 
Alasan itu sangat manusiawi yang mencoba memberikan alternatif bagi keindahan Kota Suarabaya agar terlihat bersih dan tertata rapi. Namun kenapa DRPD Surabaya meminta interpelasi atas Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 tahun 2010? Kemuskilan itu justru muncul dari DPRD yang tidak mengkaji ulang atas kronologis lahirnya Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 tahun 2010?

DPRD semata-mata menghukumi interpelasi sebagai normalisasi hukum tinjauan bukan berdasarkan dari aspek kajian sosiologis. Seharusnya DPRD tanggap secara fakta, kondisional, dan empiris atas pepaknya Kota Surabaya serta keruwetannya atas iklan-iklan melalui reklame besar yang berjumlah ratusan titik yang membuat pemandangan Kota tak lagi sedap. 
 
Maka ZM mengatakan: sepertinya DPRD Kota Surabaya khususnya pendukung interpelasi, menutup mata terhadap langkah Pemkot Surabaya dalam menurunkan tarif di 91 persen titik reklame.

Hal yang mustahil bagi DPRD jika tanpa menggali dan mengkaji lebih dulu apa penyebab munculnya Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 tahun 2010 dan tiba-tiba mengungkitnya? Lantas interpelasi itu adalah bukan solusi cerdas melainkan hal konyol. Karena Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 tahun 2010 sudah terputuskan dan sekonyong-konyongnya DPRD mengajukan hak interpelasi.

Aspek pertimbangan besarnya kenapa DPRD tidak memberikan gambaran dengan adanya rekalme-reklame besar yang terpampang dan memadati sudut-sudut Kota Surabaya sehingga amat disayangkan jika kota sebesar Surabaya sebagai barometer kehidupan metropolis di Jawa Timur masih terlihat kumuh dan semrawut. 
 
Jadi hemat penulis bahwa kenaikan tarif reklame dan Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 tahun 2010 semata-mata karena aspek kepentingan rakyat dan untuk ketertiban Kota Surabaya bukan individu. Tetapi jika DPRD Kota Surabaya mengajukan interpelasi justru perlu dipertanyakan ulang ke-DPRD-annya, apakah untuk kepentingan rakyat atau individu?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email