“Infotainment”
Adalah
Agama
Oleh:
JAMSARI
Belakangan ini dunia
infotainment
semakin ramai menggosipkan isu-isu horor, mitos, klenik dan misteri.
Kadang-kadang mengangkat isu alam yang melibatkan sejumlah selebritis
untuk mengelabuhi pemirsa.
Coba kita tengok
tayangan infotainment Selebrita
(selebriti dan berita) di Trans 7 tanggal 23 September dan Silet
di RCTI 26 September yang mengangkat kembali mitos legendaris kisah
Nyai Roro Kidul, Si Manis Jembatan Ancol menjadi isu infotainment
dalam kisaran selebritis di tanah air kita.
Rupa-rupanya,
sejumlah kalangan selebritis yang menjadi aktor film horor, mistis,
klenik dan lain sebagainya seperti Almarhumah Suzana yang terkenal
dengan sebutan Si ratu horor, Kiki Fatmala dalam film Si Manis
Jembatan Ancol masih menjadi suatu produk infotainment mitologi yang
laku keras ditayangkan beberapa media TV pada audience.
Contoh tayangan
lain, fenomena misteri kamar 308 di Samudera Beach Hotel Sukabumi
yang diyakini sebagai tempat persinggahan Ratu Kidul sampai kini pun
masih menjadi kepercayaan mistis tertentu yang mampu mereduksi publik
didukung komentar-komentar sejumlah artis seperti Olga, Dewi Persik,
Jupe dan lain sebagainya.
Di samping itu,
Insert,
pernah mengangkat fenomena “empat matahari” di China, Silet,
pernah menayangkan fenomena “langit terbelah” di Yogyakarta dan
“malaikat turun ke Ka’bah”, Kabar-kabari
pernah mengangkat isu “hujan darah” di India.
Tekhnologi yang
begitu mudah diakses di mana-mana melalui situs-situs internet
seperti Youtube misalnya, sering kita dapatkan gambar, video yang tak
jauh beda memiliki nilai mistis, mitologi, dan sejenisnya seperti UFO
hingga kapal Nabi Nuh (Kompas/26).
Infotainment
semacam di atas memiliki makna ganda yaitu; isu misteri dan alam yang
sengaja disuguhkan pada khalayak dan kemudian melahirkan beragam
pertanyaan, interpretasi, asumsi, hingga membentuk suatu opini
pemikiran publik; apakah hal itu menjadi tanda-tanda kekuasaan Tuhan,
atau tanda-tanda akhir zaman?
Konstruksi
Media Massa
Masyarakat adalah
audience yang menerima pesan apapun dari media massa. Pesan
infotainment
mistis dan fenomenologi alam menjadi substansi “kebenaran” bagi
masyarakat sehingga meyakini bahwa adanya nilai mistik dan
kejadian-kejadian alam adalah “nyata” bukan rekayasa
infotainment.
Padahal, variasi,
inovasi, kreatifitas, imaji media massa dalam menyuguhkan berita
maupun tayangan infotainment dan sebagainya menjadi salah satu kunci
keberhasilan media massa dalam menggiring publik untuk larut
menikmatinya. Hal demikian terlepas dari dampak setelahnya.
Artinya, ketika
media massa sudah tidak lagi memiliki ide segar atau tayangan aktual
kehidupan infotainment misalnya, maka seperti tayangan mistis,
ekologis yang melibatkan sederet artis bagaimana diolah dan diramu
menjadi nilai berita yang begitu menarik, nyaman dan dapat diterima
masyarakat audience dan laku di pasaran infotainment.
Media massa yang
begitu kuat pengaruhnya terhadap kehidupan audience kemudian menjadi
trend
mark
informasi dengan perangkatnya seorang ahli coppy
writer
yang meracik tayangan tersebut menjadi magnet persuasif jitu dan bisa
dirasakan pemirsa.
Oleh karena itu,
kita dapat melihat bahwa media massa yang memiliki nilai objektifitas
berita tanpa rekayasa sangat sulit kita bedakan sebab sudah banyak
renovasi dan disulap menjadi tayangan hiburan “dramatis” yang
seolah-olah menjadi “kebenaran nyata” dan dapat meyakinkan
audience.
Stuart Hall dalam
Encoding
and Decoding Televisual Discourse
(1973) berpandangan bahwa media televisi adalah wacana suatu program
yang bagaimana bermakna sehingga membentuk kode-kode pesan (encoding)
dan membaca kode-kode pesan (decoding). Kemudian, melahirkan kerangka
pengetahuan dan hubungan produksi media serta infrastruktur teknis
dengan sejumlah perangkat dan kemampuan topik, agenda setting,
peristiwa-peristiwa, person-person, citra khalayak menjadi sumber
pesan yang siap diluncurkan pada masyarakat audience semenarik dan
setepat mungkin.
Konstruksi media
massa yang mengusung isu-isu infotainment demikian akan melahirkan
budaya masyarakat media massa baru. Dari masyarakat tidak sadar akan
media massa menjadi masyarakat sadar “konsumsi” media massa.
Jadi, akibat media massa masyarakat sekarang sulit dibedakan mana
masyarakat yang sadar-tahu media massa dan mana masyarakat sadar-tahu
media massa tapi tetap menikmatinya.
Perbedaan kedua
jenis masyarakat di atas tak lagi dapat dibedakan dan sudah melebur
menjadi satu yaitu menjadi “masyarakat media massa.” Sebab zaman
serkarang, tak bisa kita pungkiri bersama kalau masyarakat hari ini
hingga masyarakat pelosok desa pun dapat dipastikan rata-rata
memiliki media massa televisi.
Sangat ironis jika
keadaan masyarakat kita dalam kehidupan sehari-hari mengkonsumsi
media massa infotainment
dan menjadi ladang basah keuntungan bagi sejumlah produsen media
massa. Masyarakat benar-benar tidak paham dan tahu kalau sesungguhnya
media infotainment adalah bentuk konstruksi media massa yang sengaja
ditampilkan untuk meraup keuntungan melalui agenda setting tertentu.
Akibatnya posisi
masyarakat adalah korban kebohongan media massa yang menjadi candu
kehidupan sehari-hari karena sihir visual media massa yang sangat
tidak bisa dijangkau pengetahuan masyarakat audience. Dalam pandangan
Marx jika agama adalah candu, maka dalam konstruksi media massa
disebut infotainment adalah agama dengan nilai kewajibannya. Dan
audience merasa menyesal, seakan-akan berdosa jika dalam
kesehariannya tidak menyaksikan tayangan infotainment tersebut.
Hegemoni media massa
tersebut merekonstruksi masyarakat sedemikian rupa hingga manjadi
sebuah penikmat dan tak sadar akan budaya baru yang menjerumuskannya
menjadi masyarakat “bodoh” akibat tertipu media TV.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email