Rabu, 08 Desember 2010

Pura-pura Lupa

Hipotesa yang Mengabaikan Realita
Oleh: JAMSARI

Apa Kabar Indonesia” (dialog) live di TV One malam Jumat pukul 22.00 yang bertemakan “Resensi Buku Pak Beye dan Politiknya” dengan nara sumber Wisnu Nugroho (penulis) dan panelis pakar Komunikasi Effendi Ghazali, politikus muda Demokrat Anas Urbaningrum dan politikus muda Golkar Yudi Chrisnandi bukan sekedar pepesan kosong namun menelisik bagaimana mengetahui rahasia sukses SBY.

Kesuksesan SBY atas politik pencitraannya pun terselip tiga tayangan teguran SBY dalam acara bedah buku tersebut yaitu; ketika microphono yang rusak karena kabelnya di makan tikus pada saat SBY pidato, teguran terhadap anggota Dewan yang tidur pada saat rapat, dan teguran pengamanan unjuk rasa pada 12 Desember 2008.


Kalau tak luput, buku itu dalam maksud penulisnya menuturkan kealamiahan sosok SBY sebagai orang nomor satu di Indonesia dan sebagai warga negara biasa dengan bahasa komunikatif atas serapan indera pengetahuan intensif si penulis ketika bertugas meliput berita seputar Istana kepresidenan. Hal yang baru dari buku itu terdapat dari gaya penulisannya seperti judul Pak Beyenya bukan Politiknya.

Dengan bahasa keseharian yang terkemas epik dan renyah dari seorang jurnalis tersebut, buku itu terjual laris dan mengalami cetak ulang yang ketiga kali. Sebenarnya sama larisnya dengan buku Gurita Cikeasnya Goerge Junus Aditjondro tetapi beda peredarannya antara cetak ulang dan pemberedelan. Mengapa hal itu terjadi? Padahal buku G J Adjitjondro tak kalah menarik dan tidak menyimpang dari buku haluan kanan (beraliran komunis) tetapi mencoba mengangkat fakta objektif dengan hipotesa-hipotesa dan sajian data-data yang cukup akurat.

Perdebatan TV one di atas mengingatkan kita pada perdebatan filsuf Descartes waktu berargumentasi dengan Derrida tentang hipotesa. Ketika Descartes mengatakan; bahwa semua pengetahuan penginderaan yang asli dapat mengelabuhi dirinya. Derrida pun bilang; tidak, tidak semua hal menginderakan pengetahuan, lalu anda akan jadi gila. Dan tidak masuk akal mengikuti contoh orang gila, untuk mengedepankan wacana yang gila, begitu pun anda dan kita semua di sini (Baca: Pengetahuan dan Metode).

Ada perasaan skeptis dan perbedaan dari masing-masing ilmuwan. Descartes mencoba mengelaborasi atas pengetahuan tertentu sebagai hipotesa dasar-dasar intelektual. Sedangkan Derrida mencoba mengungkapkan hipotesa penolakan terhadap resiko (a), hipotesis tersebut tidak mencakup seluruh totalitas dari bidang persepsi pancaindera. Orang gila tidak selalu salah tentang segalanya; dia tidak sepenuhnya salah, dan tidak benar-benar salah, dan (b), hipotesis tersebut juga bukanlah salah satu contoh yang memiliki manfaat pedagogis sebab bisa jadi benar-benar dia gila.

Politisasi Pengetahuan

Buku yang terbit dan sudah dikonsumsi masyarakat adalah media dan alat untuk menuju suatu pengetahuan tertentu. Bukunya George J Aditjondro merupakan transformasi pengetahuan tertentu dengan perangkat pisau analisisnya dan kumpulan data-data lengkap dengan sederet nama-nama pejabat teras pemerintahan SBY yang terlibat kasus skandal keuangan negara agar masyarakat terbuka dan melek dengan nalar kritis kinerja pemerintah untuk lebih transparan dan demokratis.

Sedangkan buku Pak Beye mencoba menghadirkan sisi baru dengan tampilan bungkus kesederhanaan kehidupan SBY di seputar Istana melalui inspirasi penulisnya dengan tukang kebun Istana. Kesederhanaan ide itu pun pernah di alami mendiang Soekarno ketika menuliskan buku Marhaenisme yang berangkat dari inspirasinya dengan seorang petani bernama Marhaen. Dan itu yang membuat jurnalis Wisnu Nugroho bisa mencuri waktunya sebagai seorang wartawan dan mengambil segala bentuk gambar dari meja makan SBY hingga kemewahan Rolls-Roys 234 dengan judul Pak Beye dan Politiknya.

Gambaran SBY itu hanya di dalam Istana, tapi bukan hipotesa sesungguhnya terjadi yang menjabarkan aktivitas SBY sampai kedalaman di luar istana. Masih banyak fenomena lain yang belum tersibak dalam buku Pak Beye yang kira-kira akan lebih menarik jika isi dan pesan dari buku itu bukan sekedar cerita semacam obituari tetapi kilas balik seperti substansi isi dan pesan perjuangan yang memunculkan inspirasi bagi kejujuran generasi muda seperti halnya film Sang Pencerah.

Makna secara politis dalam buku itu berarti substansi masif dan pasif yang terkemas berlebihan (dilebih-lebihkan) untuk dijadikan aktual dan bisa dipahami masyarakat pembaca dengan makna dan simbol-simbol (gambar dan warna) yang ada di buku tersebut. Cover buku dan warna mislanya, foto-foto yang diambil hingga pilihan penerbit merupakan sesuatu pengetahuan yang tak lepas dari politisasi untuk melahap konsumen sebagai rakyat.

Dan yang perlu diperhatikan adalah citra buku setelah terbit di mata masyarakat dalam perjalanan panjang demokrasi kita. Jika semakin bagus dan positif dalam kebenaran nurani dan hukum di mata rakyat maka politik pencitraan itu bisa disebut “hipotesa kegilaan” yang tak berarti “gila.” Terbukti “gila” dan berarti “gila” kalau kebenaran buku G J Aditjondro terbukti secara nurani dan hukum, misalnya semakin rendahnya suara partai Demokrat dan SBY dan nama-nama pejabat yang terlibat penyelewengan uang negara dalam buku Gurita Cikeas menjadi nyata. Karena “gila” secara hipotesa adalah epistimologi yang bisa dianut jika memang gila.

Tampil “wah” yang terlihat unik dari judul buku dan isi, lazimnya bahasa komunikasi berarti memiliki dua makna komunikasi yang bersifat positif dan negatif. Positif berarti ada keberpihakan terhadap sosok aktor yang digagas dalam buku itu sehingga feedback yang muncul dari pembaca berbentuk nilai positif. Negatif berarti ada kecurigaan yang dimaksud dalam pesan dan isi buku tersebut yang berdampak pada feedback negatif dan kedua hal positif dan negatif tersebut bisa dimaknai secara bebas (secara kelompok maupun individu).

Pengabaian Realita

Buku itu memang tidak muluk-muluk dalam pewacanaannya. Justru terlihat santun dan halus dalam bahasa jurnalistiknya. Tetapi akan terlihat ganjil kalau dibandingkan dengan buku Gurita Cikeasnya G J Aditjondro. Apakah hal itu mengindikasikan adanya disparitas hipotesa yang masih mudah dan gampang ditekuklututkan politik.

Tentu kita tidak boleh lupa dengan sejumlah kasus korupsi di instansi pemerintahan masih mandek dan belum ada kejelasan hukum, kasus Century dibiarkan terbengkelai tak ada kepastian hukum, kasus Lapindo pun demikian, dan ironisme kemiskinan masih menyisakan 31,02 juta orang (berdasarkan data Badan Pusat Statistik per Maret 2010).

Realitas itu tidak boleh tertutupi model politik pencitraan baru melalui media apapun sebab itu semua adalah tanggung jawab pemerintah sesuai janji dan slogannya “Lanjutkan”, apalagi dengan munculnya buku-buku pencitraan baru sehingga meninabobokkan sejumlah kalangan intelektual kehilangan akal sehat hipotesanya dan kebijakan hukum menjadi hipotesa yang gila.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email