Hipotesa
yang Mengabaikan Realita
Oleh:
JAMSARI
“Apa Kabar
Indonesia” (dialog) live di TV One malam Jumat pukul 22.00 yang
bertemakan “Resensi
Buku Pak Beye dan Politiknya”
dengan nara sumber Wisnu Nugroho (penulis) dan panelis pakar
Komunikasi Effendi Ghazali, politikus muda Demokrat Anas Urbaningrum
dan politikus muda Golkar Yudi Chrisnandi bukan sekedar pepesan
kosong namun menelisik bagaimana mengetahui rahasia sukses SBY.
Kesuksesan SBY atas
politik pencitraannya pun terselip tiga tayangan teguran SBY dalam
acara bedah buku tersebut yaitu; ketika microphono yang rusak karena
kabelnya di makan tikus pada saat SBY pidato, teguran terhadap
anggota Dewan yang tidur pada saat rapat, dan teguran pengamanan
unjuk rasa pada 12 Desember 2008.
Kalau tak luput,
buku itu dalam maksud penulisnya menuturkan kealamiahan sosok SBY
sebagai orang nomor satu di Indonesia dan sebagai warga negara biasa
dengan bahasa komunikatif atas serapan indera pengetahuan intensif si
penulis ketika bertugas meliput berita seputar Istana kepresidenan.
Hal yang baru dari buku itu terdapat dari gaya penulisannya seperti
judul Pak Beyenya bukan Politiknya.
Dengan bahasa
keseharian yang terkemas epik dan renyah dari seorang jurnalis
tersebut, buku itu terjual laris dan mengalami cetak ulang yang
ketiga kali. Sebenarnya sama larisnya dengan buku Gurita Cikeasnya
Goerge Junus Aditjondro tetapi beda peredarannya antara cetak ulang
dan pemberedelan. Mengapa hal itu terjadi? Padahal buku G J
Adjitjondro tak kalah menarik dan tidak menyimpang dari buku haluan
kanan (beraliran komunis) tetapi mencoba mengangkat fakta objektif
dengan hipotesa-hipotesa dan sajian data-data yang cukup akurat.
Perdebatan TV one di
atas mengingatkan kita pada perdebatan filsuf Descartes waktu
berargumentasi dengan Derrida tentang hipotesa. Ketika Descartes
mengatakan; bahwa semua pengetahuan penginderaan yang asli dapat
mengelabuhi dirinya. Derrida pun bilang; tidak, tidak semua hal
menginderakan pengetahuan, lalu anda akan jadi gila. Dan tidak masuk
akal mengikuti contoh orang gila, untuk mengedepankan wacana yang
gila, begitu pun anda dan kita semua di sini (Baca: Pengetahuan dan
Metode).
Ada perasaan skeptis
dan perbedaan dari masing-masing ilmuwan. Descartes mencoba
mengelaborasi atas pengetahuan tertentu sebagai hipotesa dasar-dasar
intelektual. Sedangkan Derrida mencoba mengungkapkan hipotesa
penolakan terhadap resiko (a), hipotesis tersebut tidak mencakup
seluruh totalitas dari bidang persepsi pancaindera. Orang gila tidak
selalu salah tentang segalanya; dia tidak sepenuhnya salah, dan tidak
benar-benar salah, dan (b), hipotesis tersebut juga bukanlah salah
satu contoh yang memiliki manfaat pedagogis sebab bisa jadi
benar-benar dia gila.
Politisasi
Pengetahuan
Buku yang terbit dan
sudah dikonsumsi masyarakat adalah media dan alat untuk menuju suatu
pengetahuan tertentu. Bukunya George J Aditjondro merupakan
transformasi pengetahuan tertentu dengan perangkat pisau analisisnya
dan kumpulan data-data lengkap dengan sederet nama-nama pejabat teras
pemerintahan SBY yang terlibat kasus skandal keuangan negara agar
masyarakat terbuka dan melek dengan nalar kritis kinerja pemerintah
untuk lebih transparan dan demokratis.
Sedangkan buku Pak
Beye mencoba menghadirkan sisi baru dengan tampilan bungkus
kesederhanaan kehidupan SBY di seputar Istana melalui inspirasi
penulisnya dengan tukang kebun Istana. Kesederhanaan ide itu pun
pernah di alami mendiang Soekarno ketika menuliskan buku Marhaenisme
yang berangkat dari inspirasinya dengan seorang petani bernama
Marhaen. Dan itu yang membuat jurnalis Wisnu Nugroho bisa mencuri
waktunya sebagai seorang wartawan dan mengambil segala bentuk gambar
dari meja makan SBY hingga kemewahan Rolls-Roys 234 dengan judul Pak
Beye dan Politiknya.
Gambaran SBY itu
hanya di dalam Istana, tapi bukan hipotesa sesungguhnya terjadi yang
menjabarkan aktivitas SBY sampai kedalaman di luar istana. Masih
banyak fenomena lain yang belum tersibak dalam buku Pak Beye yang
kira-kira akan lebih menarik jika isi dan pesan dari buku itu bukan
sekedar cerita semacam obituari tetapi kilas balik seperti substansi
isi dan pesan perjuangan yang memunculkan inspirasi bagi kejujuran
generasi muda seperti halnya film Sang Pencerah.
Makna secara politis
dalam buku itu berarti substansi masif dan pasif yang terkemas
berlebihan (dilebih-lebihkan) untuk dijadikan aktual dan bisa
dipahami masyarakat pembaca dengan makna dan simbol-simbol (gambar
dan warna) yang ada di buku tersebut. Cover buku dan warna mislanya,
foto-foto yang diambil hingga pilihan penerbit merupakan sesuatu
pengetahuan yang tak lepas dari politisasi untuk melahap konsumen
sebagai rakyat.
Dan yang perlu
diperhatikan adalah citra buku setelah terbit di mata masyarakat
dalam perjalanan panjang demokrasi kita. Jika semakin bagus dan
positif dalam kebenaran nurani dan hukum di mata rakyat maka politik
pencitraan itu bisa disebut “hipotesa kegilaan” yang tak berarti
“gila.” Terbukti “gila” dan berarti “gila” kalau
kebenaran buku G J Aditjondro terbukti secara nurani dan hukum,
misalnya semakin rendahnya suara partai Demokrat dan SBY dan
nama-nama pejabat yang terlibat penyelewengan uang negara dalam buku
Gurita Cikeas menjadi nyata. Karena “gila” secara hipotesa adalah
epistimologi yang bisa dianut jika memang gila.
Tampil “wah”
yang terlihat unik dari judul buku dan isi, lazimnya bahasa
komunikasi berarti memiliki dua makna komunikasi yang bersifat
positif dan negatif. Positif berarti ada keberpihakan terhadap sosok
aktor yang digagas dalam buku itu sehingga feedback yang muncul dari
pembaca berbentuk nilai positif. Negatif berarti ada kecurigaan yang
dimaksud dalam pesan dan isi buku tersebut yang berdampak pada
feedback negatif dan kedua hal positif dan negatif tersebut bisa
dimaknai secara bebas (secara kelompok maupun individu).
Pengabaian
Realita
Buku itu memang
tidak muluk-muluk dalam pewacanaannya. Justru terlihat santun dan
halus dalam bahasa jurnalistiknya. Tetapi akan terlihat ganjil kalau
dibandingkan dengan buku Gurita Cikeasnya G J Aditjondro. Apakah hal
itu mengindikasikan adanya disparitas hipotesa yang masih mudah dan
gampang ditekuklututkan politik.
Tentu kita tidak
boleh lupa dengan sejumlah kasus korupsi di instansi pemerintahan
masih mandek dan belum ada kejelasan hukum, kasus Century dibiarkan
terbengkelai tak ada kepastian hukum, kasus Lapindo pun demikian, dan
ironisme kemiskinan masih menyisakan 31,02 juta orang (berdasarkan
data Badan Pusat Statistik per Maret 2010).
Realitas itu tidak
boleh tertutupi model politik pencitraan baru melalui media apapun
sebab itu semua adalah tanggung jawab pemerintah sesuai janji dan
slogannya “Lanjutkan”, apalagi dengan munculnya buku-buku
pencitraan baru sehingga meninabobokkan sejumlah kalangan intelektual
kehilangan akal sehat hipotesanya dan kebijakan hukum menjadi
hipotesa yang gila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email