Menghidupkan
Kesenian Tradisional Panggung
Oleh:
JAMSARI
Seni pertunjukkan
tradisi Jawa Timuran seperti ludruk, ketoprak, tari, monolog, dan
teater, akhir-akhir ini dalam pertunjukannya mengalami sepi penonton
akibat gempuran budaya global dan kurangnya perhatian budaya seni dan
tradisi dari pemerintah Jatim.
Kesepian dan semakin
terpinggirkannya seni dan tradisi tersebut pun dialami kesenian
topeng malangan terlebih setelah meninggalnya Sang maestro topeng
Malang Mbah Karimun pada 14
Februari 2010.
Topeng Malangan kini jarang terdengar gaungnya, peragaannya,
pementasannya tak seperti ketika Mbah Karimun masih hidup.
Kata Cak Tohir,
mantan seniman panggung Srimulat Surabaya ketika mentas di acara
Festival Negarakertagama di Gedung Cak Durasim Surabaya; “sudah
lama saya tinggal di panggung ini. Tidak ada lagi penonton. Di
panggung ini pula lahir seniman-seniman besar, tapi rendah hati. Di
panggung ini juga memiliki pemain-pemain terkenal” (Kompas
Jatim,
14/10).
Memang seni dan
tradisi secara komersial bukanlah sebuah panggung harapan untuk kaya
dan menjadi seorang miliader. Seni dan tradisi bukan pula sebagai
ladang bisnis yang menjanjikan untuk masa depan dari segi materi.
Tetapi melalui seni dan tradisi seperti ludruk, ketoprak, tari,
monolog, dan tetaer itulah sebuah pementasan panggung kehidupan dapat
kita rasakan dengan sukma yang mendalam dan memerlukan kebijaksanaan
hati untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya yang dimiliki
masyarakat Jatim.
Masyarakat Jatim
tentunya tidak mau kehilangan identitas seni dan tradisinya karena
seni dan tradisi adalah martabat masyarakat Jatim dan menjadi
identitas rakyat sejak zaman dahulu dan mungkin sebelum kita
dilahirkan. Melalui panggung seni dan tradisi itu, rakyat akan tahu
dan belajar sejarah, perilaku, moral, etika, estetika, kreasi,
wacana, dalam setiap pementasan dengan lakon yang diperankan
komunitas seni dengan tema yang beragam.
Sebab panggung seni
dan tradisi semacam di atas adalah gambaran hidup manusia yang
dilakonkan seseorang sebagai bentuk nyata kehidupan dunia. Bahkan
ketika pementasan panggung tersebut memiliki tema “nirmala”
misalnya, deskripsi manusia untuk meraih hakikat kehidupan bukanlah
di dunia melainkah di akhirat (surga) yang Tuhan janjikan pada
umat-Nya. Berarti seni dan tradisi yang diperankan di panggung itu
adalah sandiwara yang betul-betul menuturkan kisah, hakikat hidup
yang sesungguhnya sebagai pengingat masyarakat dalam mengarungi
bahtera kehidupan.
Beragam lakon dan
cerita yang ada dalam seni dan tradisi merupakan cermin kisah nyata
kehidupan insan dalam menggapai cita-cita hidupnya, berangkat dari
proses, tujuan hingga menuju tampo kekuasaan.
Dari seni dan
tradisi panggung pulalah, benar kata Cak Tohir, banyak melahirkan
tokoh seni dan tradisi besar yang terkenal, seperti Butet dari
Yogyakarta, Kirun dari Jawa Timur, Tukul Arwana dari Jawa Tengah,
Tarsan, Kadir, Mamik, dan lain sebagainya.
Tergilas
Zaman
Seni dan tradisi
seperti di atas sesungguhnya nilai kesadaran masyarakat terhormat
dalam budaya khususnya Jawa. Peragaan yang dimainkan dengan berbagai
sumber inspirasi dan rujukan sejarah dalam tiap kali pementasannya
adalah cerita yang bermakna. Tidak asal-asalan cerita dan jelas
referensi cerita yang di pakai.
Seperti halnya
pementasan monolog “Sri Tanjung” dalam Festival Negarakertagama
di Gedung Cak Durasim Surabaya adalah sebuah pengingat bagi memori
masyarakat Jatim, khususnya kaum muda agar tidak terlena dengan hiruk
pikuk gempuran budaya global yang lambat laun akan menggeser budaya
seni dan tradisi pribumi seperti ludruk, ketoprak, tari, monolog, dan
tetaer.
“Selalu ingat pada
asal muasal tetuah sebuah kitab suci “Negarakertagama” dan
bagaimana sisi afektif, kognitif dan skimotorik segi positifnya Sri
Tanjung yang harus ditiru masyarakat dalam berperilaku sebagai mahluk
sosial.”
Seni dan tradisi
adalah nilai tertinggi suatu karya manusia. Sudah sepantasnya hal itu
mendapatkan posisi kehormatan luhur di mata masyarakat dan
pemerintahnya. Tapi anehnya, kini hal tersebut justru malah
ditinggalkan. Sehingga, alih-alih menyaksikan, melirik seni dan
tradisi pun terasa enggan. Lantas keresahan yang terjadi berujung
pada turur kata, sikap dan perilku seperti demikian; “dari pada
melihat ludruk, ketoprak, monolog, tari, teater, mendingan
jalan-jalan ke mal, nonton konser musik dengan happy-happy,
atau ke bioskop twenty one yang lebih modern dan tidak ketinggalan
zaman.”
Sebuah nasib
paradigma budaya seni dan tradisi yang harus berjuang melawan
paradigma modernitas kehidupan masa kini. Maka kalau seni dan tradisi
tidak tahan dan tak mampu membumi seperti zaman dahulu entah dengan
konsep yang lebih fress, maka akan naïf ditelan zaman.
Sebab tanda
kerapuhan seni dan tradisi akan semakin rapuh dan lenyap ketika seni
dan tradisi tak lagi membumi, menjadi milik masyarakat bersama. Rasa
kepemilikan, melestarikan, menjaga, mengembangkan, empati, dan
simpati adalah hal krusial yang harus tetap dipikul bersama. Karena
saat seni dan tradisi sudah tergerus zaman, saat itu juga seni dan
tradisi sudah tak lagi milik rakyat.
Artinya, ruh pribumi
dalam karya nyata seni dan tradisi yang telah lama terukir di bumi
Jawa Timur dan Nusantara telah hilang diterpa budaya global. Maka
seni dan tradisi masyarakat wong
cilik
akan tergilas zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email