Rabu, 08 Desember 2010

Nasib Seniman Panggung

Menghidupkan Kesenian Tradisional Panggung
Oleh: JAMSARI

Seni pertunjukkan tradisi Jawa Timuran seperti ludruk, ketoprak, tari, monolog, dan teater, akhir-akhir ini dalam pertunjukannya mengalami sepi penonton akibat gempuran budaya global dan kurangnya perhatian budaya seni dan tradisi dari pemerintah Jatim.

Kesepian dan semakin terpinggirkannya seni dan tradisi tersebut pun dialami kesenian topeng malangan terlebih setelah meninggalnya Sang maestro topeng Malang Mbah Karimun pada 14 Februari 2010. Topeng Malangan kini jarang terdengar gaungnya, peragaannya, pementasannya tak seperti ketika Mbah Karimun masih hidup.


Kata Cak Tohir, mantan seniman panggung Srimulat Surabaya ketika mentas di acara Festival Negarakertagama di Gedung Cak Durasim Surabaya; “sudah lama saya tinggal di panggung ini. Tidak ada lagi penonton. Di panggung ini pula lahir seniman-seniman besar, tapi rendah hati. Di panggung ini juga memiliki pemain-pemain terkenal” (Kompas Jatim, 14/10).

Memang seni dan tradisi secara komersial bukanlah sebuah panggung harapan untuk kaya dan menjadi seorang miliader. Seni dan tradisi bukan pula sebagai ladang bisnis yang menjanjikan untuk masa depan dari segi materi. Tetapi melalui seni dan tradisi seperti ludruk, ketoprak, tari, monolog, dan tetaer itulah sebuah pementasan panggung kehidupan dapat kita rasakan dengan sukma yang mendalam dan memerlukan kebijaksanaan hati untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya yang dimiliki masyarakat Jatim.

Masyarakat Jatim tentunya tidak mau kehilangan identitas seni dan tradisinya karena seni dan tradisi adalah martabat masyarakat Jatim dan menjadi identitas rakyat sejak zaman dahulu dan mungkin sebelum kita dilahirkan. Melalui panggung seni dan tradisi itu, rakyat akan tahu dan belajar sejarah, perilaku, moral, etika, estetika, kreasi, wacana, dalam setiap pementasan dengan lakon yang diperankan komunitas seni dengan tema yang beragam.

Sebab panggung seni dan tradisi semacam di atas adalah gambaran hidup manusia yang dilakonkan seseorang sebagai bentuk nyata kehidupan dunia. Bahkan ketika pementasan panggung tersebut memiliki tema “nirmala” misalnya, deskripsi manusia untuk meraih hakikat kehidupan bukanlah di dunia melainkah di akhirat (surga) yang Tuhan janjikan pada umat-Nya. Berarti seni dan tradisi yang diperankan di panggung itu adalah sandiwara yang betul-betul menuturkan kisah, hakikat hidup yang sesungguhnya sebagai pengingat masyarakat dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Beragam lakon dan cerita yang ada dalam seni dan tradisi merupakan cermin kisah nyata kehidupan insan dalam menggapai cita-cita hidupnya, berangkat dari proses, tujuan hingga menuju tampo kekuasaan.
Dari seni dan tradisi panggung pulalah, benar kata Cak Tohir, banyak melahirkan tokoh seni dan tradisi besar yang terkenal, seperti Butet dari Yogyakarta, Kirun dari Jawa Timur, Tukul Arwana dari Jawa Tengah, Tarsan, Kadir, Mamik, dan lain sebagainya. 
 
Tergilas Zaman
Seni dan tradisi seperti di atas sesungguhnya nilai kesadaran masyarakat terhormat dalam budaya khususnya Jawa. Peragaan yang dimainkan dengan berbagai sumber inspirasi dan rujukan sejarah dalam tiap kali pementasannya adalah cerita yang bermakna. Tidak asal-asalan cerita dan jelas referensi cerita yang di pakai. 
 
Seperti halnya pementasan monolog “Sri Tanjung” dalam Festival Negarakertagama di Gedung Cak Durasim Surabaya adalah sebuah pengingat bagi memori masyarakat Jatim, khususnya kaum muda agar tidak terlena dengan hiruk pikuk gempuran budaya global yang lambat laun akan menggeser budaya seni dan tradisi pribumi seperti ludruk, ketoprak, tari, monolog, dan tetaer. 
 
Selalu ingat pada asal muasal tetuah sebuah kitab suci “Negarakertagama” dan bagaimana sisi afektif, kognitif dan skimotorik segi positifnya Sri Tanjung yang harus ditiru masyarakat dalam berperilaku sebagai mahluk sosial.”

Seni dan tradisi adalah nilai tertinggi suatu karya manusia. Sudah sepantasnya hal itu mendapatkan posisi kehormatan luhur di mata masyarakat dan pemerintahnya. Tapi anehnya, kini hal tersebut justru malah ditinggalkan. Sehingga, alih-alih menyaksikan, melirik seni dan tradisi pun terasa enggan. Lantas keresahan yang terjadi berujung pada turur kata, sikap dan perilku seperti demikian; “dari pada melihat ludruk, ketoprak, monolog, tari, teater, mendingan jalan-jalan ke mal, nonton konser musik dengan happy-happy, atau ke bioskop twenty one yang lebih modern dan tidak ketinggalan zaman.” 
 
Sebuah nasib paradigma budaya seni dan tradisi yang harus berjuang melawan paradigma modernitas kehidupan masa kini. Maka kalau seni dan tradisi tidak tahan dan tak mampu membumi seperti zaman dahulu entah dengan konsep yang lebih fress, maka akan naïf ditelan zaman.

Sebab tanda kerapuhan seni dan tradisi akan semakin rapuh dan lenyap ketika seni dan tradisi tak lagi membumi, menjadi milik masyarakat bersama. Rasa kepemilikan, melestarikan, menjaga, mengembangkan, empati, dan simpati adalah hal krusial yang harus tetap dipikul bersama. Karena saat seni dan tradisi sudah tergerus zaman, saat itu juga seni dan tradisi sudah tak lagi milik rakyat. 
 
Artinya, ruh pribumi dalam karya nyata seni dan tradisi yang telah lama terukir di bumi Jawa Timur dan Nusantara telah hilang diterpa budaya global. Maka seni dan tradisi masyarakat wong cilik akan tergilas zaman.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email