Tafsir
Relokasi Penutupan
Dolly
Oleh:
JAMSARI
Surabaya selain
terkenal sebagai kota pahlawan juga terkenal sebagai kota
“prostitusi” terbesar di kawasan Asia Tenggara karena adanya
Dolly.
Wacana penutupan
lokalisasi Dolly oleh Pemkot Surabaya atas dorongan Pemerintah
Provinsi Jatim adalah sesuatu yang mustahil dapat terjadi secara
singkat. Karena Dolly meskipun memiliki citra negatif yang sudah
berkembang dan menjamur sejak zaman kompeni Belanda sampai kini
menjadi salah satu ladang ekonomi pertaruhan hidup masyarakat Dolly
dalam mengais rezki.
Di kota lain, hal serupa pun pernah terjadi wacana untuk menutup tempat lokalisasi seperti Sarkem di Yogyakarta, Sunan Kuning di Semarang yang lebih diarahkan ke daya kreativitas kekaryaan sumber daya manusia dan mengolah sumber daya alam menjadi pekerjaan yang halal seperti pada umumnya dalam masyarakat beragama.
Di Malang pun pernah
terjadi penutupan tempat lokalisasi beberapa tahun yang silam-yang di
tempat tersebut lantas dibangun tempat sekolah kelompok belajar (SKB)
Blimbing dengan tawaran daripada berprofesi sebagai penjual jasa seks
komersial lebih baik mengolah sumber daya manusia menjadi pijakan
dasar untuk mempertahankan hidup. Kelompok belajar di situ dibekali
pengetahuan dan praktik untuk mengembangkan potensinya melalui bidang
kerajinan hingga tenaga mengajar.
Oleh karena itu
secara perlahan tapi pasti kini tempat lokalisasi tersebut berubah
menjadi tempat yang bermartabat dan layak diacungi jempol karena
sudah menghasilkan nilai kesadaran manusia untuk bekerja lazimnya
kehidupan masyarakat yang berhati nurani (memiliki superego) dalam
kognitif, afektif dan psikomotorik yang wajar dan normal dari citra
negatif.
Superego
ke-Dolly-an
Dolly yang konon
terkenal sebagai tempat prostitusi terbesar di kawasan Asia Tenggara
menjadi salah satu tinjauan khusus Pemkot dan Pemprov untuk kemudian
diminimalisir dalam pencitraan negatifnya dengan cara melakukan
penutupan tempat tersebut melalui prakondisi pemasangan alat pemantau
(CCTV).
Namun ketika Pemkot
mencoba melakukan pemasangan kamera pemantau (CCTV) di kawasan
lokalisasi itu terbukti masyarakat Dolly menolak karena dapat
mengganggu aktivitasnya (merasa tidak nyaman). Tidak bebas
berkativitas.
Pandangan penulis
bahwa Dolly adalah sebuah harapan dan kepentingan bagi mereka yang
tinggal di tempat itu dengan dua macam alasan vital. Pertama,
bagi para pekerja seks komersial adalah tumpuan hidup, pekerjaan
untuk mencari uang. Kalau kemudian Dolly ditutup maka mereka akan
kehilangan pekerjaannya dan berpotensi pada “sparatisme prostitusi
baru” yang tersebar dan berceceran di seluruh Jatim. Bahkan mereka
akan mencari tempat-tempat lokalisasi terdekat lain di sepanjang kota
Jawa Timur seperti di Semampir-Kediri, Guyangan-Nganjuk, dan lain
sebagainya untuk pengganti Dolly.
Kedua,
bagi masyarakat Dolly para pengunjung adalah konsumen menuntungkan
sebagai penghasilan mereka melalui jualan barang-barang klontong dan
kebutuhan makan, minum, hingga rokok dan lain sebagainya.
Artinya bahwa
“kemerdekaan” mereka tak mau dirampas Pemkot dan Pemprov Jatim.
Apalagi Dolly sekedar ditutup tanpa ada solusi jaminan hidup
(pekerjaan) bagi masa depan mereka.
Dolly boleh ditutup
tetapi tidak dengan cara frontal melainkan perlahan-lahan tapi pasti
dengan mencontoh sistem-sitem yang sudah berhasil diterpakan oleh
kota-kota lain seperti di Malang, misalnya. Menutup dengan jalan
relokasi tempat dan menyadarakan sumber daya manusia.
Relokasi tempat
prostitusi membutuhkan kesadaran gerak-reaksi dan penafsiran yang
bijaksana dari Pemkot dan Pemprov Jatim, tidak perlu tergesa-gesa
sebab persoalan menutup Dolly tidak gampang dan membutuhkan superego
tinggi (kesadaran nurani) dalam memanusiakan manusia Dolly. Superego
menjadi patokan Pemkot dan Pemprov dalam melakukan perubahan melalui
etika, moral pemimpin pada masyarakat Dolly dengan jalan memberikan
contoh dan pendampingan berlanjut.
Superego adalah apa
yang kita namakan hati nurani. Self, individu, masyarakat Dolly
bagaimana tunduk dengan suatu “perintah” yang bukan berasal dari
pemimpin atau pemerintah melainkan dari masyarakat itu sendiri. Sebab
para pekerja seks komersial dan masyarakat sekitar Dolly adalah
individu, self, makhluk sosial yang mempunyai organisme dengan
tuntutan id
“dorongan
hewani” (rangsangan-rangsangan biologis, keinginan, kebutuhan,
naluri, atau dorongan-dorongan fisiologis lain yang semuanya itu
merupakan warisan individu).
Tumbuh dan
berkembangnya Dolly sebagai tempat prostitusi merupakan cultur
prostitution social yang
sudah mengakar begitu kuat hingga kini. Sifat petembayan dan
paguyuban di Dolly selama bertahun-tahun menjadi bentuk daripada
keberhasilan sosiologis komunikasi sosial masyarakat melalui
transaksi seks komersial dengan merealisasikan ego dan memanunggalkan
tuntutan-tuntutan id dan superego yang saling berlawanan.
Bagaimana kemudian
id, ego dan superego dapat diseimbangkan menjadi kesadaran masyarakat
pekerja seks komersial, pembeli (penjajan) seks komersial dan
masyarakat sekitar Dolly atas dorongan pemerintah kota Surabaya dan
Pemprovnya dengan jalan kemanusiaan dan kesusilaan. Menghubungkan
realitas dan kesadaran masa depan pekerja seks komersial dan
masyarakat sekitar Dolly, sifat-hakikat manusia dalam kesadaran
nurani tinggi untuk menciptakan budaya baru yang lebih posistif dan
tidak menjadikan dosa turunan kelak pada anak-cucu mereka.
Dolly adalah
tantangan nyata bagi kita semua dalam memberikan nilai kesadaran
kolektif maupun komunal sebagai “kemerdekaan” individu, self atas
superego positif untuk masa depan yang lebih cerah (future)
Masih banyak jalan dan peluang kerja bagi mereka untuk sekedar
mempertahankan hidup, mengisi perut dan tidak harus dengan cara
menjadi pekerja seks komersial yang akan menjadi dosa sejarah dan
warisan bagi generasi-generasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email