Rabu, 08 Desember 2010

Tafsir Penutupan Dolly

Tafsir Relokasi Penutupan Dolly
Oleh: JAMSARI

Surabaya selain terkenal sebagai kota pahlawan juga terkenal sebagai kota “prostitusi” terbesar di kawasan Asia Tenggara karena adanya Dolly.
Wacana penutupan lokalisasi Dolly oleh Pemkot Surabaya atas dorongan Pemerintah Provinsi Jatim adalah sesuatu yang mustahil dapat terjadi secara singkat. Karena Dolly meskipun memiliki citra negatif yang sudah berkembang dan menjamur sejak zaman kompeni Belanda sampai kini menjadi salah satu ladang ekonomi pertaruhan hidup masyarakat Dolly dalam mengais rezki.



Di kota lain, hal serupa pun pernah terjadi wacana untuk menutup tempat lokalisasi seperti Sarkem di Yogyakarta, Sunan Kuning di Semarang yang lebih diarahkan ke daya kreativitas kekaryaan sumber daya manusia dan mengolah sumber daya alam menjadi pekerjaan yang halal seperti pada umumnya dalam masyarakat beragama.
Di Malang pun pernah terjadi penutupan tempat lokalisasi beberapa tahun yang silam-yang di tempat tersebut lantas dibangun tempat sekolah kelompok belajar (SKB) Blimbing dengan tawaran daripada berprofesi sebagai penjual jasa seks komersial lebih baik mengolah sumber daya manusia menjadi pijakan dasar untuk mempertahankan hidup. Kelompok belajar di situ dibekali pengetahuan dan praktik untuk mengembangkan potensinya melalui bidang kerajinan hingga tenaga mengajar.
Oleh karena itu secara perlahan tapi pasti kini tempat lokalisasi tersebut berubah menjadi tempat yang bermartabat dan layak diacungi jempol karena sudah menghasilkan nilai kesadaran manusia untuk bekerja lazimnya kehidupan masyarakat yang berhati nurani (memiliki superego) dalam kognitif, afektif dan psikomotorik yang wajar dan normal dari citra negatif. 

Superego ke-Dolly-an
Dolly yang konon terkenal sebagai tempat prostitusi terbesar di kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu tinjauan khusus Pemkot dan Pemprov untuk kemudian diminimalisir dalam pencitraan negatifnya dengan cara melakukan penutupan tempat tersebut melalui prakondisi pemasangan alat pemantau (CCTV).
Namun ketika Pemkot mencoba melakukan pemasangan kamera pemantau (CCTV) di kawasan lokalisasi itu terbukti masyarakat Dolly menolak karena dapat mengganggu aktivitasnya (merasa tidak nyaman). Tidak bebas berkativitas.
Pandangan penulis bahwa Dolly adalah sebuah harapan dan kepentingan bagi mereka yang tinggal di tempat itu dengan dua macam alasan vital. Pertama, bagi para pekerja seks komersial adalah tumpuan hidup, pekerjaan untuk mencari uang. Kalau kemudian Dolly ditutup maka mereka akan kehilangan pekerjaannya dan berpotensi pada “sparatisme prostitusi baru” yang tersebar dan berceceran di seluruh Jatim. Bahkan mereka akan mencari tempat-tempat lokalisasi terdekat lain di sepanjang kota Jawa Timur seperti di Semampir-Kediri, Guyangan-Nganjuk, dan lain sebagainya untuk pengganti Dolly.
Kedua, bagi masyarakat Dolly para pengunjung adalah konsumen menuntungkan sebagai penghasilan mereka melalui jualan barang-barang klontong dan kebutuhan makan, minum, hingga rokok dan lain sebagainya.
Artinya bahwa “kemerdekaan” mereka tak mau dirampas Pemkot dan Pemprov Jatim. Apalagi Dolly sekedar ditutup tanpa ada solusi jaminan hidup (pekerjaan) bagi masa depan mereka.
Dolly boleh ditutup tetapi tidak dengan cara frontal melainkan perlahan-lahan tapi pasti dengan mencontoh sistem-sitem yang sudah berhasil diterpakan oleh kota-kota lain seperti di Malang, misalnya. Menutup dengan jalan relokasi tempat dan menyadarakan sumber daya manusia.
Relokasi tempat prostitusi membutuhkan kesadaran gerak-reaksi dan penafsiran yang bijaksana dari Pemkot dan Pemprov Jatim, tidak perlu tergesa-gesa sebab persoalan menutup Dolly tidak gampang dan membutuhkan superego tinggi (kesadaran nurani) dalam memanusiakan manusia Dolly. Superego menjadi patokan Pemkot dan Pemprov dalam melakukan perubahan melalui etika, moral pemimpin pada masyarakat Dolly dengan jalan memberikan contoh dan pendampingan berlanjut.
Superego adalah apa yang kita namakan hati nurani. Self, individu, masyarakat Dolly bagaimana tunduk dengan suatu “perintah” yang bukan berasal dari pemimpin atau pemerintah melainkan dari masyarakat itu sendiri. Sebab para pekerja seks komersial dan masyarakat sekitar Dolly adalah individu, self, makhluk sosial yang mempunyai organisme dengan tuntutan id “dorongan hewani” (rangsangan-rangsangan biologis, keinginan, kebutuhan, naluri, atau dorongan-dorongan fisiologis lain yang semuanya itu merupakan warisan individu).
Tumbuh dan berkembangnya Dolly sebagai tempat prostitusi merupakan cultur prostitution social yang sudah mengakar begitu kuat hingga kini. Sifat petembayan dan paguyuban di Dolly selama bertahun-tahun menjadi bentuk daripada keberhasilan sosiologis komunikasi sosial masyarakat melalui transaksi seks komersial dengan merealisasikan ego dan memanunggalkan tuntutan-tuntutan id dan superego yang saling berlawanan.
Bagaimana kemudian id, ego dan superego dapat diseimbangkan menjadi kesadaran masyarakat pekerja seks komersial, pembeli (penjajan) seks komersial dan masyarakat sekitar Dolly atas dorongan pemerintah kota Surabaya dan Pemprovnya dengan jalan kemanusiaan dan kesusilaan. Menghubungkan realitas dan kesadaran masa depan pekerja seks komersial dan masyarakat sekitar Dolly, sifat-hakikat manusia dalam kesadaran nurani tinggi untuk menciptakan budaya baru yang lebih posistif dan tidak menjadikan dosa turunan kelak pada anak-cucu mereka.
Dolly adalah tantangan nyata bagi kita semua dalam memberikan nilai kesadaran kolektif maupun komunal sebagai “kemerdekaan” individu, self atas superego positif untuk masa depan yang lebih cerah (future) Masih banyak jalan dan peluang kerja bagi mereka untuk sekedar mempertahankan hidup, mengisi perut dan tidak harus dengan cara menjadi pekerja seks komersial yang akan menjadi dosa sejarah dan warisan bagi generasi-generasinya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email