Rabu, 08 Desember 2010

TNI Dua Wajah



 


Judul : Jati Diri dan Profesi TNI
Penulis : Dr Muhadjir Effendy, M.AP
Penerbit : UMM Press, Malang
Tahun : I, Agustus 2009
Tebal : xxxii + 287 halaman







 TNI, Satu Cermin Dua Wajah
Oleh: JAMSARI
(Dimuat di Jurnal Bestari UMM, Januari 2010)

Manusia tercipta sebagai mahluk sosial yang memiliki sistem hidup berkelompok-kelompok. Sistem tersebut kemudian melahirkan sub-sub sistem tertentu dalam memperjelas dan mempertegas status dan peranan hidupnya. Tentu hal tersebut berjalan dinamis sesuai dengan dinamika zaman yang berkembang selama ini.


Kaca mata sosiologi memandang bahwa manusia pada hakikatnya memproduksi dirinya sendiri. Termasuk TNI AD yang dalam pandangan umum identik dengan kelompok militerisme dan cenderung menakutkan serta mudah melakukan ”kekerasan” adalah produk dari adanya manusia sebagai TNI.

Aktivitas manusia (TNI AD) dalam pemaparan Jati Diri Dan Profesi TNI oleh Dr. Muhajir Effendy, M.AP merupakan salah satu potret dualisme otoritas sipil dan profesionalisme TNI di Garnizun Malang. Dari situ mencoba menelisik sistematika kehidupan suatu kelompok yang memerankan fungsionalnya sebagai warga negara (civil society) yang mempunyai hak kesejahteraan dan status dirinya sebagai militer yang bertugas mengamankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jika TNI adalah bagian dari civil society maka apakah yang menjadi relevansinya ketika TNI adalah manusia utuh yang tidak terlepas dari sifat kekediriannya? Sikap TNI yang diasumsikan publik dalam dimensi kekerasan apakah dapat merepresentasikan sikap profesionalismenya dalam menjalankan tugasnya sebagai militer.

Realitas sosial dalam teori ”looking-glass self” mengatakan bahwa bagaimana dan seperti apa perasaan diri (sence of self) seseorang terbentuk merupakan pantulan atau cermin dari orang lain. Artinya sesorang yang memiliki kekedirian baik dan buruk adalah orang lain yang menilai bukan dirinya sendiri. Maka jati diri seseorang dapat dilihat karena adanya pengamatan orang lain terhadap diri kita. Jadi, jati diri TNI adalah bentuk individu TNI yang terbangun dan bersumber dari ”perasaan” TNI-nya dan orang lain (realitas sosial) yang memandang dan menilai bagaimana sikap dan tindakan TNI adalah benturan citra objektif. Keberadaan TNI yang mencerminkan bentuk perilaku sosial (social behaviour) adalah jati diri sesungguhnya.

Dimensi lain bahwa TNI dituntut sebagai organ vital negara yang harus menjalankan tugasnya secara profesionalisme. Artinya profesionalisme TNI adalah seperti apa dan bagaimana terlatih, terdidik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dijamin kesejahteraannya, mengikuti kebijakan negara dengan adanya sistem demokrasi, supremasi sipil, Hak Asasi Manusia (HAM), dan mematuhi hukum nasional dan internasional secara artifikasi. Adanya tanggung jawab yang menjadi beban kultural dalam menyandang gelar TNI sebagai ksatriya/prajurit yang berani mati dalam menjaga kedaulatan NKRI secara penuh merupakan nilai tawar yang tidak dapat terelakkan.

Sikap profesinalisme demikian tidak harus ”disikapi” dan dipahami dengan bentuk ”kekerasan” sebab kekerasan yang ada dalam pendidikan militer adalah bentuk nyata untuk melatih kekuatan fisik sebagai seorang kesatriya. Kesatriya, sering diilustrasikan dalam tubuh TNI seperti sosok Jenderal Sudirman sebagai panglima besar TNI pertama yang dalam menjalankan tugasnya melawan penjajah Jepang mampu melucuti persenjataanya dengan penuh ketangkasan dan taktik kecerdasan. Yaitu; ”menang tidak harus dengan menyerang tapi bagaimana menang tanpa dengan perlawanan.” Bahwa ada kemampuan edukasi kemiliteran yang menunjukkan sikap intelegensi kecerdasan, patriotisme, selalu siap dan pantang menyerah dalam mengemban tugas dan mengabdi pada negara demi kesejahteraan rakyat.

Disamping itu kekerasan dalam TNI adalah sebagai penangkal atau pencegah agar tercapainya reintegrasi. Jika suatu saat ada musuh eksternal yang mengancam dan menyerang negara dan juga musuh internal yang lahir dari dalam negara dengan tindakan pemberontakan dan penyerangan yang berakibat pada terpecahnya NKRI seperti gerakan sparatisme yang sempat terjadi di Aceh, Maluku, Papua dan sebagainya.

”Kekerasan” tidak semuanya diperankan dan dimainkan oleh TNI seperti asumsi publik pada umumnya. Melainkan ada sistem pendidikan kemiliteran yang tentunya memiliki silabus metode komunikasi pengajaran-pembelajaran, pengembangan penelitian, manajemen, dan sebagainya agar TNI memiliki kekuatan inteletual sebagai manusia utuh. Sebab dalam pengembangannya TNI dituntut untuk lebih agresif, jeli, peka, responsif terhadap polarisasi ruang dan waktu terlebih di wilayah kemiliteran. Karena di era globalisasi tidak menutup kemungkinan sistem dan amunisi lainya dalam perkembangan persenjataan tetap memerlukan adanya inovasi dan itu harus disikapi dengan intelegensi pengetahuan.
Dibalik Seragam Dorengmu

Fenomenologi kehidupan TNI memiliki subjek dan objek tersendiri dalam mengenal budaya sosial sebagai sosok militer. Hal demikian menjadi level pranata sosial terutama ketika awal berkarir dalam menempuh pendidikan militer hingga mencapai suatu tingkatan/posisi/kedudukan tertinggi seperti menyandang pangkat jenderal.

Objek Garnizun Malang yang kemudian diangkat adalah bagaimana dinamika kehidupan dan profesi TNI ketika dibenturkan dengan persoalan kompleks, seperti tugas, kesejahteraan hidup, pendidikan militer dan seterusnya.
Dalam buku ini Muhajir Effendy mencoba mengarahkan pada suatu kejadian manusia (TNI) hingga dapat memetakan empat aspek yang menjadi bahasan fenomenologi adanya perubahan yang dapat diidentifikasikan sesuai dengan hipotesa yang ada.

Pertama, adanya realitas kemiliteran yang berpola. Bahwa pola-pola perilaku (patterm behavior) perwira TNI diartikan dengan dua fungsi. Fungsi pertama sebagai struktur sosial; ada batasan untuk perwira TNI dalam menentukan, membatasi, bahkan memaksakan dirinya dalam melakukan sesuatu karena adanya aturan TNI yang selalu berbenturan dengan keinginan diri. Fungsi kedua sebagai media sosial; TNI sebagai aktor sosial yang mencurahkan dirinya untuk negara. Menjadi agensi, bukan hanya dibentuk tetapi membentuk kemiliteran. Kedua fungsi tersebut berjalan seberapa jauh yang lebih mendominasi antara kedua fungsi tersebut maka nampak jatidiri sebagai TNI dan profesinalismenya.

Kedua, terdapat adanya pola-pola tertentu yang mengembangkan dan menjadikan TNI sebagai profesionalisme militer. Sebab jati diri dalam perwira TNI terbentuk karena adanya sistem proses berkarir. Sehingga semakin lama berkarir dan semakin matang maka akan semakin menemukan jati drinya sebagai TNI. Disamping itu, faktor kekeluargaan (significant others), eksperimen penugasan, dan pendidikan kemiliteran menjadi hal yang urgen terhadap perubahan dan penemuan jati diri dan profesionalisme TNI.

Ketiga, adanya pemahaman dialektika yang kompleks antara Realitas Sosial Objektif (RSO) kemiliteran dan Ruang Kesadaran Subjek (RKS) elit TNI di sisi lain. Bahwa internalisasi TNI terjadi dari RSO menuju RKS dan eksternalisasi terjadi dari RKS ke RSO. Jadi, kesadaran TNI atas dirinya dan profesionalismenya terbentuk karena adanya sistem internal dan eksternal melalui realitas yang terjadi dan aktivitas dalam menjalankan tugasnya. Seperti halnya ketika TNI tidak tahu persoalan politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan kemudian ada mandat tugas atau perintah untuk mengamankan suatu konflik akibat politik, ekonomi maupun persoalan kemsayarakatan maka disitulah TNI mulai sadar dan menemukan posisi jati dirinya dan profesinalismenya.

Keempat, adanya gagasan atau nilai-nilai transendental suatu konsep (sikap ksatriya). Artinya ada kekuatan gagasan kekuasaan (power of idea) budaya yang menghegemoni TNI dalam berperilaku. Konsep tersebut berasal dari masa lalu, masa perjuangan bagaimana pada zaman dahulu, Indonesia atau negara kita diraih betul-betul dengan semangat patriotisme, sikap ksatriya dan gagah berani dalam bertarung melawan kaum penjajah.

Implikasi keberadaan TNI selaku manusia utuh yang berkecimpung dalam ranah militer merupakan eksplorasi jati diri manusia realitas. Sedangkan profesionalisme adalah jenjang karir kemiliteran dengan berbagai sistem pendidikan yang dikenyamnya selama TNI berdiri tegak dibawah UU RI no 34 tahun 2004 pasasl 2 ayat (b) Bab II yang berbunyi; ”Tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraanya, serta mengikuti kebijakan negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diartifikasi.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email