Judul : Jati Diri dan Profesi TNI
Penulis : Dr Muhadjir Effendy, M.AP
Penerbit : UMM Press, Malang
Tahun : I, Agustus 2009
Tebal : xxxii + 287 halaman
Penulis : Dr Muhadjir Effendy, M.AP
Penerbit : UMM Press, Malang
Tahun : I, Agustus 2009
Tebal : xxxii + 287 halaman
TNI, Satu Cermin Dua Wajah
Oleh:
JAMSARI
(Dimuat
di Jurnal Bestari UMM, Januari 2010)
Manusia
tercipta sebagai mahluk sosial yang memiliki sistem hidup
berkelompok-kelompok. Sistem tersebut kemudian melahirkan sub-sub
sistem tertentu dalam memperjelas dan mempertegas status dan peranan
hidupnya. Tentu hal tersebut berjalan dinamis sesuai dengan dinamika
zaman yang berkembang selama ini.
Kaca
mata sosiologi memandang bahwa manusia pada hakikatnya memproduksi
dirinya sendiri. Termasuk TNI AD yang dalam pandangan umum identik
dengan kelompok militerisme dan cenderung menakutkan serta mudah
melakukan ”kekerasan” adalah produk dari adanya manusia sebagai
TNI.
Aktivitas
manusia (TNI AD) dalam pemaparan Jati
Diri Dan Profesi TNI oleh Dr. Muhajir
Effendy, M.AP merupakan salah satu potret dualisme otoritas sipil dan
profesionalisme TNI di Garnizun Malang. Dari situ mencoba menelisik
sistematika kehidupan suatu kelompok yang memerankan fungsionalnya
sebagai warga negara (civil society)
yang mempunyai hak kesejahteraan dan status dirinya sebagai militer
yang bertugas mengamankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Jika
TNI adalah bagian dari civil society
maka apakah yang menjadi relevansinya ketika TNI adalah manusia utuh
yang tidak terlepas dari sifat kekediriannya? Sikap TNI yang
diasumsikan publik dalam dimensi kekerasan apakah dapat
merepresentasikan sikap profesionalismenya dalam menjalankan tugasnya
sebagai militer.
Realitas
sosial dalam teori ”looking-glass
self” mengatakan bahwa bagaimana dan
seperti apa perasaan diri (sence of
self) seseorang terbentuk merupakan
pantulan atau cermin dari orang lain. Artinya sesorang yang memiliki
kekedirian baik dan buruk adalah orang lain yang menilai bukan
dirinya sendiri. Maka jati diri seseorang dapat dilihat karena adanya
pengamatan orang lain terhadap diri kita. Jadi, jati diri TNI adalah
bentuk individu TNI yang terbangun dan bersumber dari ”perasaan”
TNI-nya dan orang lain (realitas sosial) yang memandang dan menilai
bagaimana sikap dan tindakan TNI adalah benturan citra objektif.
Keberadaan TNI yang mencerminkan bentuk perilaku sosial (social
behaviour) adalah jati diri sesungguhnya.
Dimensi
lain bahwa TNI dituntut sebagai organ vital negara yang harus
menjalankan tugasnya secara profesionalisme. Artinya profesionalisme
TNI adalah seperti apa dan bagaimana terlatih, terdidik, tidak
berpolitik praktis, tidak berbisnis, dijamin kesejahteraannya,
mengikuti kebijakan negara dengan adanya sistem demokrasi, supremasi
sipil, Hak Asasi Manusia (HAM), dan mematuhi hukum nasional dan
internasional secara artifikasi. Adanya tanggung jawab yang menjadi
beban kultural dalam menyandang gelar TNI sebagai ksatriya/prajurit
yang berani mati dalam menjaga kedaulatan NKRI secara penuh merupakan
nilai tawar yang tidak dapat terelakkan.
Sikap
profesinalisme demikian tidak harus ”disikapi” dan dipahami
dengan bentuk ”kekerasan” sebab kekerasan yang ada dalam
pendidikan militer adalah bentuk nyata untuk melatih kekuatan fisik
sebagai seorang kesatriya. Kesatriya, sering diilustrasikan dalam
tubuh TNI seperti sosok Jenderal Sudirman sebagai panglima besar TNI
pertama yang dalam menjalankan tugasnya melawan penjajah Jepang mampu
melucuti persenjataanya dengan penuh ketangkasan dan taktik
kecerdasan. Yaitu; ”menang tidak harus dengan menyerang tapi
bagaimana menang tanpa dengan perlawanan.” Bahwa ada kemampuan
edukasi kemiliteran yang menunjukkan sikap intelegensi kecerdasan,
patriotisme, selalu siap dan pantang menyerah dalam mengemban tugas
dan mengabdi pada negara demi kesejahteraan rakyat.
Disamping
itu kekerasan dalam TNI adalah sebagai penangkal atau pencegah agar
tercapainya reintegrasi. Jika suatu saat ada musuh eksternal yang
mengancam dan menyerang negara dan juga musuh internal yang lahir
dari dalam negara dengan tindakan pemberontakan dan penyerangan yang
berakibat pada terpecahnya NKRI seperti gerakan sparatisme yang
sempat terjadi di Aceh, Maluku, Papua dan sebagainya.
”Kekerasan”
tidak semuanya diperankan dan dimainkan oleh TNI seperti asumsi
publik pada umumnya. Melainkan ada sistem pendidikan kemiliteran yang
tentunya memiliki silabus metode komunikasi pengajaran-pembelajaran,
pengembangan penelitian, manajemen, dan sebagainya agar TNI memiliki
kekuatan inteletual sebagai manusia utuh. Sebab dalam pengembangannya
TNI dituntut untuk lebih agresif, jeli, peka, responsif terhadap
polarisasi ruang dan waktu terlebih di wilayah kemiliteran. Karena di
era globalisasi tidak menutup kemungkinan sistem dan amunisi lainya
dalam perkembangan persenjataan tetap memerlukan adanya inovasi dan
itu harus disikapi dengan intelegensi pengetahuan.
Dibalik Seragam Dorengmu
Fenomenologi
kehidupan TNI memiliki subjek dan objek
tersendiri dalam mengenal budaya sosial sebagai sosok militer. Hal
demikian menjadi level pranata sosial terutama ketika awal berkarir
dalam menempuh pendidikan militer hingga mencapai suatu
tingkatan/posisi/kedudukan tertinggi seperti menyandang pangkat
jenderal.
Objek
Garnizun Malang yang kemudian diangkat adalah bagaimana dinamika
kehidupan dan profesi TNI ketika dibenturkan dengan persoalan
kompleks, seperti tugas, kesejahteraan hidup, pendidikan militer dan
seterusnya.
Dalam buku ini Muhajir Effendy mencoba
mengarahkan pada suatu kejadian manusia (TNI) hingga dapat memetakan
empat aspek yang menjadi bahasan fenomenologi adanya perubahan yang
dapat diidentifikasikan sesuai dengan hipotesa yang ada.
Pertama,
adanya realitas kemiliteran yang berpola. Bahwa pola-pola perilaku
(patterm behavior) perwira TNI diartikan dengan dua fungsi. Fungsi
pertama sebagai struktur sosial; ada batasan untuk perwira TNI dalam
menentukan, membatasi, bahkan memaksakan dirinya dalam melakukan
sesuatu karena adanya aturan TNI yang selalu berbenturan dengan
keinginan diri. Fungsi kedua sebagai media sosial; TNI sebagai aktor
sosial yang mencurahkan dirinya untuk negara. Menjadi agensi, bukan
hanya dibentuk tetapi membentuk kemiliteran. Kedua fungsi tersebut
berjalan seberapa jauh yang lebih mendominasi antara kedua fungsi
tersebut maka nampak jatidiri sebagai TNI dan profesinalismenya.
Kedua,
terdapat adanya pola-pola tertentu yang mengembangkan dan menjadikan
TNI sebagai profesionalisme militer. Sebab jati diri dalam perwira
TNI terbentuk karena adanya sistem proses berkarir. Sehingga semakin
lama berkarir dan semakin matang maka akan semakin menemukan jati
drinya sebagai TNI. Disamping itu, faktor kekeluargaan (significant
others), eksperimen penugasan, dan pendidikan kemiliteran menjadi hal
yang urgen terhadap perubahan dan penemuan jati diri dan
profesionalisme TNI.
Ketiga,
adanya pemahaman dialektika yang kompleks antara Realitas Sosial
Objektif (RSO) kemiliteran dan Ruang Kesadaran Subjek (RKS) elit TNI
di sisi lain. Bahwa internalisasi TNI
terjadi dari RSO menuju RKS dan eksternalisasi terjadi dari RKS ke
RSO. Jadi, kesadaran TNI atas dirinya dan
profesionalismenya terbentuk karena adanya sistem internal dan
eksternal melalui realitas yang terjadi dan aktivitas dalam
menjalankan tugasnya. Seperti halnya ketika TNI tidak tahu persoalan
politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan kemudian ada mandat tugas
atau perintah untuk mengamankan suatu konflik akibat politik, ekonomi
maupun persoalan kemsayarakatan maka disitulah TNI mulai sadar dan
menemukan posisi jati dirinya dan profesinalismenya.
Keempat,
adanya gagasan atau nilai-nilai transendental suatu konsep (sikap
ksatriya). Artinya ada kekuatan gagasan kekuasaan (power of idea)
budaya yang menghegemoni TNI dalam berperilaku. Konsep tersebut
berasal dari masa lalu, masa perjuangan bagaimana pada zaman dahulu,
Indonesia atau negara kita diraih betul-betul dengan semangat
patriotisme, sikap ksatriya dan gagah berani dalam bertarung melawan
kaum penjajah.
Implikasi
keberadaan TNI selaku manusia utuh yang berkecimpung dalam ranah
militer merupakan eksplorasi jati diri manusia realitas. Sedangkan
profesionalisme adalah jenjang karir kemiliteran dengan berbagai
sistem pendidikan yang dikenyamnya selama TNI berdiri tegak dibawah
UU RI no 34 tahun 2004 pasasl 2 ayat (b) Bab II yang berbunyi;
”Tentara profesional, yaitu tentara
yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik
praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraanya, serta
mengikuti kebijakan negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi
sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum
internasional yang telah diartifikasi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email