Selasa, 07 Desember 2010

Monarki: Pepesan Kosong Politik

Monarki: Pepesan Kosong Politik
Oleh: JAMSARI*

Monarki Yogya konstitusional dan Inkonstitusional”, menjadi isu serius yang ditanggapi masyarakat-pengamat politik, sejarahwan hingga budayawan. Polemik itu perlahan menenggelamkan tanggungjawab krusial pemerintah dalam penuntasan kasus Century, mafia pajak Gayus dan silang sengkarut ketidakjelasan hak asasi manusia (TKI).

Redudansi demikian pernah terjadi sebelumnya, seperti kasus Century gate yang dinina bobokkan oleh kasus Gayus, Bibit Samad Riyanto-Candra Hamzah (KPK), dan sebagainya.

Refleksinya, tanggapan soal monarki Yogyakarta di Kompas, pada 30/11, ada Sukardi Rinakit, pada 2/12, M. Fajrul Falakh, pada 3/12, Irfan Ridwan Maksum, Novri Susan, Radhar Panca Dahana, tulisan klarifikasi Jubir kepresidenan Julian Aldrin Pasha.

Pendapat serta argumentasi mereka sebagai respon terhadap pernyataan presiden SBY pada 29/11 dalam rangka memantapkan kejelasan sejarah, konstitusi, keistimewaan Daerah Yogyakarta terhadap pemahaman publik.

Fenomena tersebut, sadar atau tidak mencoba untuk menggiring kita pada persoalan releven atau tidaknya opinion leader atas konsistensi-konsekwensi dalam merampungkan persoalan pemberantasan korupsi, ketegasan dalam membela hak asasi warga imigran, hingga pembenahan infrastruktur atas bencana alam yang telah melanda bangsa ini.

Terbukti dan masih hangat-hangat tahi ayam, bahwa minimnya solusi cerdas dalam bentuk bantuan kepada rakyat atas korban bencana Tsunami di Mentawai, akibat banjir bandang Wasior, serta dampak hujan debu vulkanik dari erupsi Merapi terhadap kesehatan lingkungan pertanian, pembenahan tempat tinggal masyarakat Jogja, dan melubernya lahar dingin Merapi ke Kali Code, mengapa malah lepas dari perhatian pemerintah akibat suguhan isu monarki.

Artinya, minimnya tanggungjawab kepemimpinan pemerintah untuk memberikan obat hati nurani rakyat Yogyakarta yang masih dalam kondisi pemulihan traumatis, ketakutan akan bencana alam susulan, malah dimainkan hatinya sekonyong-konyong koder (sesuka-suka hatinya). Mereka butuh pertolongan, bantuan, dan uluran tangan tulus pemerintah secara kongkrit karena hal itu merupakan tanggungjawab pemerintah untuk secepatnya dikerjakan setuntas-tuntasnya.

Bola-bola Salju
Berita yang dikemas menjadi isu adalah bagian dari propaganda politik dan kepentingan sepihak atau kelompok yang ditumpangi free raider. Anomali yang terlahir selanjutnya adalah mengorbankan pihak yang tidak berkepentingan (rakyat), ketidakberdayaan masyarakat. Lantas reaksi propaganda yang terus menggelinding akan membentuk bola-bola salju (snow balls) liar yang sulit dikendalikan.

Bola-bola salju itu akan berhenti dan meleleh ketika sampai di genangan “oase” salju dataran rendah atau dibuatkan semacam kanal jalan kemudian dibenturkan pada sejenis batu karang atau tebing. Tetapi bola-bola itu tidak bisa meleleh begitu saja sebab harus menunggu dalam ruang dan waktunya hingga mengecil dan mencair dengan sendirinya.

Dalih Demokrasi
Dalam politik, Laswell mengatakan; siapa (who) memperoleh apa (get what), melalui sebuah chanel (in wich chanel), untuk siapa (to whom), dengan efek seperti apa (with what effec).

Dalam konstelasi politik, demokrasi ala Barat yang diterjemahkan pada kultur masyarakat kita seolah-olah menuntut rakyat untuk lebih saling terbuka, menghargai, menghormati dan bersikap toleransi terhadap sesama warga negara dalam kebebasan berpendapat serta menentukan pemimpinnya.

Demokrasi keindonesiaan tidak bisa moro-moro (ekonyong-konyong) diplatformkan sama dengan masyarakat Barat yang cenderung liberal dalam menentukan arah kebijakan pemilu bangsanya. Karena multikulturalisme bangunan bangsa Indonesia terletak pada falsafah Pancasila dan UUD 45 serta sejarah kepahlawanannya termasuk ketika melibatkan Sri Sultan Hamangku Buana IX Yogyakarta dalam sumbangsih harta benda dan kelapangdadaannya bahwa Yogyakarta sebagai ibu kota pada tahun 1946 akibat Batavia diduduki Belanda.

Namun, kini, seiring perkembangan lahirnya multipartai dan semakin bermunculnya partai-partai politik baru seperti Nasional Demokrat (Nasdem) yang salah satunya diprakarsai Sri Sultan Sultan Hamangku Buana X maka wacana yang digelontorkan lewat sebuah chanel sebagai pesan politik, misalnya, monarki, maka akan menerima feed back baik secara langsung maupun tidak oleh khalayak maupun partisipan politik.

Ironisnya, konsep kesengajaan isu yang dikemas dalam bentuk pesan seperti “monarki” akan menjadi dalih demokrasi. Hentakan pesan berupa isu monarki yang sengaja dimunculkan akhirnya telah berhasil menjadi efektivitas komunikasi politik” untuk memperoleh tanggapan publik pilitis.

Pesan dalam komunikasi politik, bisa ditengarai serius ketika ada tindak lanjut keseriusan yang diwakilkan oleh lembaga Legeslatif dan menjadi suatu keputusan kumulatif melalui tahap penggodokan konstitusi undang-undang di tingkat Legeslatif, tanpa meniadakan undang-undang yang telah diberlakukan secara prosedural permusyawaratan keputusan DPR.

Sebaliknya, akan tidak memiliki substansi pesan serius jika pesan yang disuguhkan ternyata bersifat incidental (sementara) dan lenyap kemudian seperti pepesan kosong.

Pepesan kosong sebagai pancingan isu yang salah satunya digunakan untuk menjajaki lawan politiknya. Tujuan pesan pada akhirnya semakin memperlambat kemacetan kasus Century, mafia pajak Gayus, penuntasan hak asasi para imigran (TKI) untuk dibuang jauh-jauh dengan mengorbankan rakyatnya. Akhirnya, “Monarki” sebatas pepesan kosong politik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email