Signifikansi
Sinematografi Tokoh Agama
Oleh:
JAMSARI
Film Sang
Pencerah
yang telah dilounchingkan serempak di seluruh studio film Indonesia
sejak 8 September lalu semakin mengukuhkan betapa signifikan peranan
sosok Muhammad Darwis (K H Ahmad Dahlan) dalam perubahan zaman yang
mengglobal dan begitu kompleks sampai detik ini.
Kisah narasi agung
yang disutradarai Hanung Bramatyo dengan produser Raam Punjabi dan
aktor-aktor profesional papan atas seperti Lukman Sardi, Sujiwo Tejo,
Giring Nidji, Ikranegara, Saskia Adya Mecca dan lainnya merupakan
telaah tersendiri bagi perkembangan dunia sinematografi perfilman di
Indonesia.
Dan yang tak kalah
pentingnya bahwa kehadiran film Sang Pencerah ini menjadi wacana
nilai-nilai keberagamaan organisasi keislaman dalam sikap
toleransinya di seluruh Indonesia. Betapa kehidupan yang begitu
kompleks dengan keragaman implementasi tehnis peribadatan bagaimana
kita hormati bersama dan kita sikapi dengan kepala dingin dan
kelapangan dada untuk perdamaian umat manusia yang ada di muka bumi
Indonesia bahkan mendunia.
Film bukan hanya
mengungkap sisi kehidupan seperti sinetron-sinetron rumah tangga yang
disuguhkan melalui layar-layar televisi sehari-hari melainkan
bagimana inovasi cerita dan skenarionya mengalami perubahan dan
peningkatan substansi makna keteladanan dalam pergolakan dan
perjuangan serta ketahanan dan ketabahan dalam menyebarkan agama dan
ajaran Islam seperti film Sang Pencerah.
Membuat film memang
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Film Sang Pencerah misalnya,
telah menghabiskan biaya produksi 12 miliar dan biaya promosi 3
miliar itu digarap dengan upaya maksimal dan diracik semenarik
mungkin untuk menarik simpati masyarakat. Sehingga masyarakat bisa
mengambil hikmah dari pesan film tersebut dan produser pun tak rugi
ketika masyarakat luas sangat antusias dan berbondong-bondong untuk
menyaksikan film tersebut. Maka tak heran jika tuturan dalam
kandungan film (sejarah) dari pemuda Kauman Yogyakarta garapan
stradara film Ayat-ayat Cinta ini menjadi film terlaris hari ini.
Film dalam kajian
sinematografi komunikasi merupakan cermin atau pesan kilas balik dari
kehidupan manusia pada umumnya. Namun ketika film itu membidik
sejarah perjuangan seorang tokoh besar agama seperti K H Ahmad Dahlan
adalah sesuatu hal baru yang tidak hanya ditoleh oleh semua kalangan
umat beragama melainkan menorehkan tumbuhnya kembali nilai-nilai
perjuangan bagi umat Islam untuk bangkit dalam menghadapi tantangan
global yang kian pelik. Dan itulah relaitas yang tergambarkan pada
masa perjuangannya yang patut kita teladani bersama dan kita siapkan
untuk menyongsong masa depan yang cerah secerah matahari terbit dari
timur.
Sudah sepatutnya
kalau makna film tersebut melemparkan diskursus pemahaman toleransi
antar umat beragama dan keteladanan yang patut kita contoh bersama.
Tanpa mengurangi
rasa hormat terhadap organisasi Islam lain bahwa film Sang Pencerah
pun menjadi kebanggaan tersendiri bagi kalangan organisasi keislaman
Muhammadiyah dan menjadi magnet, daya pemikat masyarakat secara luas
dan mendunia. Betapa laris dan lakunya ketika kemasan film tersebut
mengangkat kisah struggle
life of way ketokohan
yang memiliki andil peran penting dalam merubah zaman saat ini.
Yogyakarta memang
banyak melahirkan tokoh-tokoh besar di Indonesia bahkan mendunia.
Tetapi tokoh K H Ahmad Dahlan dalam film tersebut menjadi satu ikon
perjuangan keislaman yang berangkat dari Yogyakarta secara modern
dalam mengembangkan ajaran keislaman melalui jalan sosial
kemasyarakat. Dan perkembangan itu dapat dipetik dan kita rasakan
bersama buahnya seperti adanya badan amal usaha, pengembangan
pendidikan hingga tingkat Universitas, rumah sakit dan paradigma Al
maun yang bisa dinikmati seluruh kalangan masyarakat.
Dia berani dan teguh
pada prinsip kebenaran yang diyakininya untuk kemaslahatan umat
seperti dalam cerita film itu; “ketika merubah arah kiblat salat di
Masjid Agung Kauman Yogyakarta yang sempat membuat Kiai Penghulu
Kamaludiningrat naik pitam hingga Ahmad Dahlan pada waktu itu
dikatakan kafir.”
Tak hanya itu segala
tradisi yang menyimpang dari ajaran Islam telah coba diluruskan oleh
Ahmad Dahlan agar masyarakat Kauman pada waktu itu tidak tersesat
dalam menjalankan syariat Islam. Maka kata “kafir” kerap kali
terlontar dari masyarakat Kauman untuk Dahlan. Dan Dahlan tetap
merangkak terseok-seok dalam memperjuangkan Islam yang nyaris tak
bisa kita bayangkan kalau sampai hari ini Muhammadiyah bisa sebesar
dan semaju ini.
Penulis pun setuju
dengan dinamika pembuatan film herois semacam di atas. Coba kalau
organisasi keislaman lain memiliki karya monumental yang tak jauh
beda dengan keorganisasian Islam Muhammadiyah maka akan hadir
nilai-nilai toleransi dan keteladanan yang bisa kita banggakan demi
kemajuan berbangsa dan satu tanah air Indonesia ke depan. Sebab
masing-masing tokoh memiliki nilai juang tersendiri dan memiliki
pengikut yang besar.
Artinya ketika NU
mempunyai karya besar keteladanan sosok K H Hasyim Asy’ari dan
Muhammadiyah ada Sang Pencerah maka kemajuan kedua organisasi besar
Islam tersebut akan sejalan dengan tuntutan zaman modern dan tidak
ada istilah ketertinggalan dengan dunia tekhnologi melalui
sinematografi yang semakin berkembang pesat.
Hari ini kita tidak
bisa mencari sosok keteladaan seperti kedua tokoh di atas karena
semakin sulit menemukan sosok pejuang yang berpikir dan berorientasi
pada perkembangan zaman untuk Indonesia ke depan kecuali dengan
bantuan menyimak kisah hidupnya melalui budaya dongen, teks cerita
dan film. Sebab kedua tokoh itu bukan hanya sebatas tokoh agama
belaka namun turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan untuk
keutuhan Indonesia pada zaman kolonial Belanda dan Jepang.
Perkembangan
sinematografi dalam toleransi dan keteladanan tokoh agama itu sangat
penting dan perlu dilestarikan untuk meningkatkan imajinasi dan
inspirasi generasi muda. Sebab hal itu merupakan salah satu pilar
refleksi pemikiran dan cermin titik kesadaran yang patut diwariskan
regenerasi ketika kaum muda sudah keluar dari rel toleransi
keberagamaan dan keteladanan.
komentar sy mugkin sederhana, silahkn liad dsni kawand :::
BalasHapushttp://chengxplore.blogspot.com/2010/09/sang-pencerah-yang-membutakan.html
efek nya perlu diperhatikan, bagaimana imajinasi liar beradu dalam sebuah karya !!!
imaji itu berarti bebas tanpa koherensi dengan urusan transenden, tetapi kalau komersialisasi film melalui "tokoh" bukan bentuk dari nekrokultura media.
BalasHapusFilm itu memang nampak ekslusif dari orisinilitasnya, sehingga sinematografi yang diperankan menjadi oposisi biner antara kritik sosial dan kepatuhan sosial.
BalasHapusDua sisi ini yang lantas menjadi perbincangan publik dan berhenti di wilayah negativa binerial.