Rabu, 08 Desember 2010

Sinematografi Tokoh

Signifikansi Sinematografi Tokoh Agama
Oleh: JAMSARI

Film Sang Pencerah yang telah dilounchingkan serempak di seluruh studio film Indonesia sejak 8 September lalu semakin mengukuhkan betapa signifikan peranan sosok Muhammad Darwis (K H Ahmad Dahlan) dalam perubahan zaman yang mengglobal dan begitu kompleks sampai detik ini.


Kisah narasi agung yang disutradarai Hanung Bramatyo dengan produser Raam Punjabi dan aktor-aktor profesional papan atas seperti Lukman Sardi, Sujiwo Tejo, Giring Nidji, Ikranegara, Saskia Adya Mecca dan lainnya merupakan telaah tersendiri bagi perkembangan dunia sinematografi perfilman di Indonesia.

Dan yang tak kalah pentingnya bahwa kehadiran film Sang Pencerah ini menjadi wacana nilai-nilai keberagamaan organisasi keislaman dalam sikap toleransinya di seluruh Indonesia. Betapa kehidupan yang begitu kompleks dengan keragaman implementasi tehnis peribadatan bagaimana kita hormati bersama dan kita sikapi dengan kepala dingin dan kelapangan dada untuk perdamaian umat manusia yang ada di muka bumi Indonesia bahkan mendunia.

Film bukan hanya mengungkap sisi kehidupan seperti sinetron-sinetron rumah tangga yang disuguhkan melalui layar-layar televisi sehari-hari melainkan bagimana inovasi cerita dan skenarionya mengalami perubahan dan peningkatan substansi makna keteladanan dalam pergolakan dan perjuangan serta ketahanan dan ketabahan dalam menyebarkan agama dan ajaran Islam seperti film Sang Pencerah.

Membuat film memang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Film Sang Pencerah misalnya, telah menghabiskan biaya produksi 12 miliar dan biaya promosi 3 miliar itu digarap dengan upaya maksimal dan diracik semenarik mungkin untuk menarik simpati masyarakat. Sehingga masyarakat bisa mengambil hikmah dari pesan film tersebut dan produser pun tak rugi ketika masyarakat luas sangat antusias dan berbondong-bondong untuk menyaksikan film tersebut. Maka tak heran jika tuturan dalam kandungan film (sejarah) dari pemuda Kauman Yogyakarta garapan stradara film Ayat-ayat Cinta ini menjadi film terlaris hari ini.

Film dalam kajian sinematografi komunikasi merupakan cermin atau pesan kilas balik dari kehidupan manusia pada umumnya. Namun ketika film itu membidik sejarah perjuangan seorang tokoh besar agama seperti K H Ahmad Dahlan adalah sesuatu hal baru yang tidak hanya ditoleh oleh semua kalangan umat beragama melainkan menorehkan tumbuhnya kembali nilai-nilai perjuangan bagi umat Islam untuk bangkit dalam menghadapi tantangan global yang kian pelik. Dan itulah relaitas yang tergambarkan pada masa perjuangannya yang patut kita teladani bersama dan kita siapkan untuk menyongsong masa depan yang cerah secerah matahari terbit dari timur.

Sudah sepatutnya kalau makna film tersebut melemparkan diskursus pemahaman toleransi antar umat beragama dan keteladanan yang patut kita contoh bersama.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap organisasi Islam lain bahwa film Sang Pencerah pun menjadi kebanggaan tersendiri bagi kalangan organisasi keislaman Muhammadiyah dan menjadi magnet, daya pemikat masyarakat secara luas dan mendunia. Betapa laris dan lakunya ketika kemasan film tersebut mengangkat kisah struggle life of way ketokohan yang memiliki andil peran penting dalam merubah zaman saat ini.

Yogyakarta memang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar di Indonesia bahkan mendunia. Tetapi tokoh K H Ahmad Dahlan dalam film tersebut menjadi satu ikon perjuangan keislaman yang berangkat dari Yogyakarta secara modern dalam mengembangkan ajaran keislaman melalui jalan sosial kemasyarakat. Dan perkembangan itu dapat dipetik dan kita rasakan bersama buahnya seperti adanya badan amal usaha, pengembangan pendidikan hingga tingkat Universitas, rumah sakit dan paradigma Al maun yang bisa dinikmati seluruh kalangan masyarakat.

Dia berani dan teguh pada prinsip kebenaran yang diyakininya untuk kemaslahatan umat seperti dalam cerita film itu; “ketika merubah arah kiblat salat di Masjid Agung Kauman Yogyakarta yang sempat membuat Kiai Penghulu Kamaludiningrat naik pitam hingga Ahmad Dahlan pada waktu itu dikatakan kafir.”

Tak hanya itu segala tradisi yang menyimpang dari ajaran Islam telah coba diluruskan oleh Ahmad Dahlan agar masyarakat Kauman pada waktu itu tidak tersesat dalam menjalankan syariat Islam. Maka kata “kafir” kerap kali terlontar dari masyarakat Kauman untuk Dahlan. Dan Dahlan tetap merangkak terseok-seok dalam memperjuangkan Islam yang nyaris tak bisa kita bayangkan kalau sampai hari ini Muhammadiyah bisa sebesar dan semaju ini.

Penulis pun setuju dengan dinamika pembuatan film herois semacam di atas. Coba kalau organisasi keislaman lain memiliki karya monumental yang tak jauh beda dengan keorganisasian Islam Muhammadiyah maka akan hadir nilai-nilai toleransi dan keteladanan yang bisa kita banggakan demi kemajuan berbangsa dan satu tanah air Indonesia ke depan. Sebab masing-masing tokoh memiliki nilai juang tersendiri dan memiliki pengikut yang besar.

Artinya ketika NU mempunyai karya besar keteladanan sosok K H Hasyim Asy’ari dan Muhammadiyah ada Sang Pencerah maka kemajuan kedua organisasi besar Islam tersebut akan sejalan dengan tuntutan zaman modern dan tidak ada istilah ketertinggalan dengan dunia tekhnologi melalui sinematografi yang semakin berkembang pesat.

Hari ini kita tidak bisa mencari sosok keteladaan seperti kedua tokoh di atas karena semakin sulit menemukan sosok pejuang yang berpikir dan berorientasi pada perkembangan zaman untuk Indonesia ke depan kecuali dengan bantuan menyimak kisah hidupnya melalui budaya dongen, teks cerita dan film. Sebab kedua tokoh itu bukan hanya sebatas tokoh agama belaka namun turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan untuk keutuhan Indonesia pada zaman kolonial Belanda dan Jepang.

Perkembangan sinematografi dalam toleransi dan keteladanan tokoh agama itu sangat penting dan perlu dilestarikan untuk meningkatkan imajinasi dan inspirasi generasi muda. Sebab hal itu merupakan salah satu pilar refleksi pemikiran dan cermin titik kesadaran yang patut diwariskan regenerasi ketika kaum muda sudah keluar dari rel toleransi keberagamaan dan keteladanan.

3 komentar:

  1. komentar sy mugkin sederhana, silahkn liad dsni kawand :::
    http://chengxplore.blogspot.com/2010/09/sang-pencerah-yang-membutakan.html

    efek nya perlu diperhatikan, bagaimana imajinasi liar beradu dalam sebuah karya !!!

    BalasHapus
  2. imaji itu berarti bebas tanpa koherensi dengan urusan transenden, tetapi kalau komersialisasi film melalui "tokoh" bukan bentuk dari nekrokultura media.

    BalasHapus
  3. Film itu memang nampak ekslusif dari orisinilitasnya, sehingga sinematografi yang diperankan menjadi oposisi biner antara kritik sosial dan kepatuhan sosial.
    Dua sisi ini yang lantas menjadi perbincangan publik dan berhenti di wilayah negativa binerial.

    BalasHapus

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email