Selasa, 07 Desember 2010

Budaya Dongeng Bagi Anak

Melestarikan Budaya Dongeng Bagi Anak
Oleh: JAMSARI*

Kemajuan tekhnologi merupakan sebuah prestasi budaya modern (ITE) dan sekaligus menciptakan prestasi budaya “sibuk” sehingga budaya mendongeng orangtua pada anak-anaknya akhir-akhir ini luput dari budaya kita yang sesungguhnya sebagai warisan nenek moyang.

Anak-anak masa kini justru malah disuguhi tayangan televisi dengan beberapa program infotainment yang berdampak pada mental psikologis, melemahkan nilai-nilai humaniora bagi pertumbuhan pengetahuan si anak.

Zaman dahulu, mendongeng digunakan sebagai alat atau media komunikasi (budaya lisan) dari satu tempat ke tempat lain. Cerita-cerita tentang sejarah, kepahlawanan, perjuangan, kehidupan masyarakat adalah pesan komunikasi yang sering diterapkan orangtua dahulu. Bagi orangtua di zaman itu dongeng sering kali ditunjukkan pada anak-anaknya sebelum tidur dengan durasi pendek untuk menimang anak-anaknya agar cepat terlelap.
Artinya, ketika anak-anak mereka sebelum menjemput tidurnya lalu mendapatkan dongeng para Nabi, Rasul, tokoh, pahlawan sampai pada dongeng si kancil misalnya, di samping menjadi kepuasan bagi anak dan sebagai wujud kasih sayang dari orang tua, ada pesan moral dan etika yang ingin disampaikan dari orangtua pada anak-anaknya sebelum tidur. Sehingga anak akan mengenang apa isi pesan dongeng tersebut ketika dewasa nanti. Pesan mencuri itu tidak baik, pesan berbohong, licik, picik itu bertentangan dengan agama, etika dan moralitas kemanusiaan.

Aktivitas orangtua yang disibukkan seiring dengan kemajuan tekhnologi seakan-akan menyita waktu dan hampir tidak ada celah ruang dan waktu untuk berinteraksi lewat dongeng pada anak-anaknya meskipun dongeng itu sesungguhnya butuh waktu maksimal kira-kira 15 menit. Jika orangtua sibuk seharian bekerja pastinya ketika pulang di rumah yang tersisa hanya waktu capek dan kemudian istirahat. Bertemu anak sudah tidak dalam kondisi fit seperti orangtua zaman dahulu, pulang membawa oleh-oleh cerita, dongeng gembira yang membuat anak-anaknya termotivasi untuk lebih giat dalam belajar di hari esok.

Sebab, anak-anak yang masih belajar di bangku sekolah tingkat dasar pun akhir-akhir ini jarang mendapatkan cerita atau dongeng dari gurunya secara intensif. Meskipun ada, kemungkinannya satu atau dua kali selama di hari aktif belajar, dan itu pun belum pasti.

Dalam sebuah seminar “Tekhnik Mendongeng” di Perpustakaan Arsip dan Daerah Kota Malang yang diselenggarakan Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTKI), “mendongeng saat ini, di tengah kemajuan tekhnologi dan meningkatnya aktivitas, memang jalan di tempat. Hal ini karena rata-rata orangtua sibuk dan tidak bisa mendongeng. Maka mereka enggan mendongengi anak,”(Kompas, 11/6).

Ini adalah indikator kemunduran bagi orangtua zaman sekarang yang diakibatkan adanya kemajuan tekhnologi justru budaya santun mendongeng dalam menanamkan mental moralitas, keteladanan bagi anak sudah tidak lagi mendapatkan perhatian. Padahal mendongeng itu di samping sebagai warisan budaya leluhur kita sebetulnya bisa menarik anak sedini mungkin untuk lebih bisa cepat membaca dan bercerita. Sebab bahan dan materi dongeng pada anak sudah banyak kita jumpai dalam buku-buku anak, cerita anak-anak, dan beragam buku lainnya yang tentunya bisa didapatkan di toko-toko buku sekitar kita.

Alternatifnya adalah, sesibuk apapun pekerjaan orangtua, maka sisakan ruang dan waktunya untuk bercengkerama dengan anaknya. Karena meskipun tanpa disadarai bahwa mendongeng adalah hal terpenting bagi anak agar mendapatkan kasih saying dan pendidikan mendengar dan pesan moral semenjak kecil.

Kalau kita mau mengeja zaman, semakin terkikisnya budaya lisan dan mendengar secara tepat, maka akan semakin gersang pula budaya komunikasi interaksi bagi orangtua dan anak. Akibatnya anak kurang mendapatkan perhatian dari orangtua dan pendidikan anak dalam interkasi komunikasi tidak ada pendampingan dari orangtua yang mengakibatkan si anak tidak dapat konsentrasi dan memiliki kelemahan semangat dalam hal belajar di sekolah.

Belum lagi jika nilai-nilai moralitas anak tidak terjaga semenjak kecil maka dewasanya nanti tidak dapat menjamin adanya penghormatan seorang anak terhadap orangtuanya sebab si anak semenjak kecil jarang dan kurang mendapatkan perhatian dari orangtua melalui dongeng dan sisa waktu dari orangtua untuk lebih perhatian secara intensif. Karena anak membutuhkan perhatian dengan cara pengembangan budaya lisan baik melalui budaya mendongeng maupun menuntunnya dengan cara budaya lain seperti diajak dan dilatih membaca, diarahkan pada penulisan dan bahasa yang benar sehingga akhlaq dan perilaku si anak akan terbentuk dan tumbuh dengan benteng pengetahuan dan komunikasi yang bermanfaat.

Dongeng pada anak tidak harus pakem, dongeng lucu pun dapat dijadikan variasi untuk menunjukkan perhatian orangtua, menghibur anak dalam kondisi tertentu. Yang pasti dongeng tersebut tidak memberikan konstribusi pengetahuan pada anak yang sekiranya tidak memiliki nilai-nilai negatif di masa mendatang.
Budaya lisan (dongeng) adalah budaya dasar dalam menciptakan anak dan kehidupan yang lebih dinamis, komunikatif, informatif, transformatif, menuju kehidupan yang lebih serius diusianya kelak. Sebab budaya lisan bisa diartikan sebagi budaya pitutur (nasehat) bagi orangtua pada anaknya. Melalui budaya mendongeng, orangtua bisa menyisipkan dan menanamkan nilai-nilai kebaikan bagi anak untuk tidak terjebak budaya berbohong, mencuri, dan melakukan perbuatan yang tidak baik, bahkan bisa membuat si anak untuk lebih kreatif bertanya dalam interaksi pada orangtuanya. Kesempatan bertanya pada orangtua itulah sarana budaya lisan yang tepat untuk menumbuhkan kecerdasan anak dengan memberikan jawaban positif pada anak.

Tidak ada salahnya jika budaya mendongeng pada anak bisa dilakukan orangtua setidaknya seminggu tiga kali atau lebih. Tergantung bagaimana orangtua mengatur waktunya dalam beraktivitas, membagi waktu untuk anak demi kebahagiaan, perhatian, penanaman moral, etika untuk kecerdasan mental si anak.

Oleh karena itu, dalam falsafah kehidupan mendongeng meskipun orangtua memiliki pekerjaan sebagai seorang pencuri sekalipun, tidak ada orangtua satu pun atau orangtua manapun yang menginginkan anaknya untuk meniru perbuatan orangtuanya sebagai pencuri atau penjahat. Orangtua tetap menginginkan sesuatu hal yang terbaik bagi masa depan si anak. (Dimuat di Malang Post, Melestarikan Budaya Dongen Bagi Anak, Minggu 4 Juli 2010)

*Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UMM
Pendiri Forum Madzhab Djaeng dan Penggiat Forum RBC Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email