Rabu, 08 Desember 2010

Mau Beribadah Kok Repot

Mau Beribadah Kok Repot!
Oleh: JAMSARI 
 
Kasus indikasi penyerangan pada Minggu 12 September di Gereja Huria Kristen Batak Protestan Pondok Timur Indah Kota Bekasi Jawa Barat yang mengakibatkan pengurus HKBP Asia Lumban Toruan mengalami luka tusuk di perut bagian atas dan Pendeta Luspida Simanjuntak mengalami luka memar adalah bentuk kekerasan yang menghalangi umat Indonesia untuk melakukan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing.


Peristiwa itu spontanitas menohok dan menimbulkan reaksi negatif seluruh kalangan umat Kristen Protestan terhadap pelaku dan dapat dipastikan tidak bisa menerima perlakuaan sadis tersebut baik secara moral, etika dan hukum. Logikanya, siapa pun pasti tidak rela ketika jemaatnya mau beribadah lantas dianiaya. Sebab ibadah dalam agama apapun adalah sesuatu yang sakral ketika manusia memiliki iman dan kepercayaan untuk menghadap kepada Tuhannya. 
 
Seandainya pengurus Gereja HKBP itu sama dengan pengurus Masjid dan Pendeta itu sama statusnya seperti Ulama atau Kiai yang hendak mengimami salat di Masjid dan tiba-tiba dikeroyok lantas tertusuk dengan sajam maka perasaan umat Islam pun spontanitas kira-kira sama dengan umat Kristen Protestan saat itu. 
 
Dalam Islam, menghalangi kemerdekaan umat untuk beribadah dan memaksa untuk tidak bersujud dan menyembah pada Tuhan kepercayaannya adalah perbuatan “menentang Tuhan”, bisa kita sebut hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablun minallah) tersandera dan terusik oleh hubungan antar manusia (hablun minannas). Nilai kebaikan yang bersifat sakral demikian pun diajarkan dalam umat Kristen Protestan HKBP. 
 
Kesadaran masyarakat kita dalam memahami kepercayaan terhadap Tuhan yang memiliki perbedaan pemahaman agama dan tehnis implementasi iman mempunyai sudut pandang yang kompleks.
Masih ingatkah kita dengan insiden berdarah yaitu penyerangan ormas FPI terhadap ormas Aliansi Kebangsaan di Monas Jakarta pada Juni 2008? Itu merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan sejumlah individu di bawah payung suatu ormas atas nama “agama” yang mengakibatkan pihak ormas lain mengalami luka-luka dan berdarah. Kerugian itu akan mengakibatkan moralitas sesama warga negara dan agama itu sendiri menjadi paham kekerasan. 
 
Tidak terlihat keakraban sesama ormas secara damai nan indah justru cermin kriminalitas dan kekerasan berdarah. Sikap manusia Indonesia yang tak beradab dan bertindak tanpa melihat aspek undang-undang negara dengan hormat tersebut tidak mengindahkan ideologi berketuhanan Yang Maha Esa sesuai undang-undang yang berlaku di negara kita. Karena negara kita berideologi dan berfalsafah pancasila dan berdasarkan UUD 45 bukan berfalsafah sebagai negara Islam.

Hak Warga Negara
Dalam penafsiran undang-undang 45 telah tersirat dan jelas diterangkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak memeluk agama yang telah disahkan oleh negara serta beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing tanpa mengganggu ibadah agama lain. Pun juga perundang-undangan tentang ormas dalam hak dan kewajibannya.

Adalah suatu keniscayaan tanpa jaminan pemerintah jika perundang-undangan tersebut masih bisa diterobos sebagian oknum untuk memprovokasi umat beragama lain untuk saling sensitif (curiga-mencurigai) dan berujung pada pertikaian atas nama agama tertentu. Disinilah peran keseriusan pemerintah untuk menuntaskan persoalan HKBP sampai ke akar-akarnya secara hukum. Sebab suatu hal yang mustahil bahwa HKBP dapat berdiri di Bekasi tanpa adanya dukungan dan perlindungan dari pemerintah sebelumnya.

Provokasi dan Tak Luput  
 
Provokasi tak ubahnya propaganda yang bisa tersalurkan melalui paradigma media masyarakat (lingkungan) atau saluran lain dengan tujuan memecah belah informasi dengan kesalahpemahaman pesan. Sehingga mengakibatkan pesan yang tidak menyehatkan pola pikir masyarakat yaitu pesan agama minoritas yang tertindas kekerasan oleh agama mayoritas atau lingkungan mayoritas. 
 
Pesan itu bermaksud memecah dan merekontruksi massa dengan makna disparitas antara kaum minoritas dan mayoritas karena masyarakat Indonesia adalah 75 persen beragama Islam. 
 
Timing yang sangat tepat, hak yang dipermainkan oleh segelintir orang ini memang tepat sasaran dan tak luput dari momentum perayaan agama Islam. Artinya bertepatan lima hari setelah seluruh umat Islam di dunia khususnya di Indonesia merayakan hari raya Idul Fitri pada 10 September 2010 (1 syawal 1431 H). 
 
Predien Susilo Bambang Yudhoyono minta semua pihak, mulai dari menteri, pemimpin agama, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota Bekasi dan elemen lain, duduk bersama mencari solusi yang tepat dan bijaksana (Kompas, 15/9).

Dari instruksi presiden tersebut Polri telah menjaring 10 tersangka dan beberapa elemen lain, pemuka agama saling berdialog untuk mencari jalan keluar yang bijak. Hal itu sangat tepat sebagai langkah awal merumuskan persoalan kekerasan di HKBP agar tidak merembet dan berdampak pada perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun mengapa pemerintah bertindak setelah insiden itu terjadi dan sudah menelan korban? Sesungguhnya, mengingat kejadian kekerasan demikian yang kerap kali terjadi di Indonesia sudah seharusnya jika pemerintah terlebih dahulu mencegah adanya tindak kekerasan yang dialami satu pengurus HKBP dan satu pendetanya dari pada bertindak setelah terjadi kekerasan. 
 
Kelalaian pemerintah tersebut merupakan wujud nyata kelambanan pemerintah dalam melindungi umatnya untuk hidup rukun dan berdamai yang bertujuan tanpa menciderai agama lain sesuai dengan maksud yang termaktub dalam undang-undang negara.
Hal krusial lain adalah dampak kelalaian itu yang mengakibatkan kerukunan antar umat beragama dengan mudah terprovokasi dan dimainkan oleh pihak tertentu yang sengaja ingin memecah belah kerukunan antar umat beragama dan mengakibatkan pemerintah dalam kinerjanya berjalan tidak efektif. 
 
Insiden itu di mata umat Kristen Protestan adalah insiden yang tidak beres dan sangat merugikan. Siapapun yang menjadi korban atas kekerasan tersebut adalah korban dari dua hal penting. 
 
Pertama, korban keteledoran pemerintah yang tidak menjamin adanya kebebasan umat beragama dalam perihal peribadatan sesuai amanah undang-undang kebebasan beragama yang telah ditentukan sendiri oleh pihak pemerintah.

Kedua, oknum korban akibat ketidaksenangan pihak tertentu terhadap umat beragama lain. Sentimen yang demikian membuat disharmonisasi hubungan umat beragama satu sama lain yang sengaja dipicu pihak tertentu karena tidak menyukai adanya HKBP dan segala aktivitasnya. 
 
Namun dua hal tersebut memiliki sumber rujukan perlindungan yang sama yaitu tingkat optimalisasi pemerintah dalam menjalankan undang-undang beragama yang tak luput; beraksi setelahnya bukan sebelumnya. Kata lainya sangat bertentangan dengan pepatah “lebih baik mencegah dari pada mengobati.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email