Mau
Beribadah Kok Repot!
Oleh:
JAMSARI
Kasus indikasi
penyerangan pada Minggu 12 September di Gereja Huria Kristen Batak
Protestan Pondok Timur Indah Kota Bekasi Jawa Barat yang
mengakibatkan pengurus HKBP Asia Lumban Toruan mengalami luka tusuk
di perut bagian atas dan Pendeta Luspida Simanjuntak mengalami luka
memar adalah bentuk kekerasan yang menghalangi umat Indonesia untuk
melakukan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing.
Peristiwa itu
spontanitas menohok dan menimbulkan reaksi negatif seluruh kalangan
umat Kristen Protestan terhadap pelaku dan dapat dipastikan tidak
bisa menerima perlakuaan sadis tersebut baik secara moral, etika dan
hukum. Logikanya, siapa pun pasti tidak rela ketika jemaatnya mau
beribadah lantas dianiaya. Sebab ibadah dalam agama apapun adalah
sesuatu yang sakral ketika manusia memiliki iman dan kepercayaan
untuk menghadap kepada Tuhannya.
Seandainya pengurus
Gereja HKBP itu sama dengan pengurus Masjid dan Pendeta itu sama
statusnya seperti Ulama atau Kiai yang hendak mengimami salat di
Masjid dan tiba-tiba dikeroyok lantas tertusuk dengan sajam maka
perasaan umat Islam pun spontanitas kira-kira sama dengan umat
Kristen Protestan saat itu.
Dalam Islam,
menghalangi kemerdekaan umat untuk beribadah dan memaksa untuk tidak
bersujud dan menyembah pada Tuhan kepercayaannya adalah perbuatan
“menentang Tuhan”, bisa kita sebut hubungan antara manusia dengan
Tuhan (hablun
minallah)
tersandera dan terusik oleh hubungan antar manusia (hablun
minannas). Nilai
kebaikan yang bersifat sakral demikian pun diajarkan dalam umat
Kristen Protestan HKBP.
Kesadaran masyarakat
kita dalam memahami kepercayaan terhadap Tuhan yang memiliki
perbedaan pemahaman agama dan tehnis implementasi iman mempunyai
sudut pandang yang kompleks.
Masih ingatkah kita
dengan insiden berdarah yaitu penyerangan ormas FPI terhadap ormas
Aliansi Kebangsaan di Monas Jakarta pada Juni 2008? Itu merupakan
salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan sejumlah individu di bawah
payung suatu ormas atas nama “agama” yang mengakibatkan pihak
ormas lain mengalami luka-luka dan berdarah. Kerugian itu akan
mengakibatkan moralitas sesama warga negara dan agama itu sendiri
menjadi paham kekerasan.
Tidak terlihat
keakraban sesama ormas secara damai nan indah justru cermin
kriminalitas dan kekerasan berdarah. Sikap manusia Indonesia yang tak
beradab dan bertindak tanpa melihat aspek undang-undang negara dengan
hormat tersebut tidak mengindahkan ideologi berketuhanan Yang Maha
Esa sesuai undang-undang yang berlaku di negara kita. Karena negara
kita berideologi dan berfalsafah pancasila dan berdasarkan UUD 45
bukan berfalsafah sebagai negara Islam.
Hak
Warga Negara
Dalam penafsiran
undang-undang 45 telah tersirat dan jelas diterangkan bahwa setiap
warga negara Indonesia berhak memeluk agama yang telah disahkan oleh
negara serta beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing
tanpa mengganggu ibadah agama lain. Pun juga perundang-undangan
tentang ormas dalam hak dan kewajibannya.
Adalah suatu
keniscayaan tanpa jaminan pemerintah jika perundang-undangan tersebut
masih bisa diterobos sebagian oknum untuk memprovokasi umat beragama
lain untuk saling sensitif (curiga-mencurigai) dan berujung pada
pertikaian atas nama agama tertentu. Disinilah peran keseriusan
pemerintah untuk menuntaskan persoalan HKBP sampai ke akar-akarnya
secara hukum. Sebab suatu hal yang mustahil bahwa HKBP dapat berdiri
di Bekasi tanpa adanya dukungan dan perlindungan dari pemerintah
sebelumnya.
Provokasi
dan Tak Luput
Provokasi tak
ubahnya propaganda yang bisa tersalurkan melalui paradigma media
masyarakat (lingkungan) atau saluran lain dengan tujuan memecah belah
informasi dengan kesalahpemahaman pesan. Sehingga mengakibatkan pesan
yang tidak menyehatkan pola pikir masyarakat yaitu pesan agama
minoritas yang tertindas kekerasan oleh agama mayoritas atau
lingkungan mayoritas.
Pesan itu bermaksud
memecah dan merekontruksi massa dengan makna disparitas antara kaum
minoritas dan mayoritas karena masyarakat Indonesia adalah 75 persen
beragama Islam.
Timing
yang sangat tepat, hak yang dipermainkan oleh segelintir orang ini
memang tepat sasaran dan tak luput dari momentum perayaan agama
Islam. Artinya bertepatan lima hari setelah seluruh umat Islam di
dunia khususnya di Indonesia merayakan hari raya Idul Fitri pada 10
September 2010 (1 syawal 1431 H).
Predien Susilo
Bambang Yudhoyono minta semua pihak, mulai dari menteri, pemimpin
agama, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota Bekasi dan
elemen lain, duduk bersama mencari solusi yang tepat dan bijaksana
(Kompas, 15/9).
Dari instruksi
presiden tersebut Polri telah menjaring 10 tersangka dan beberapa
elemen lain, pemuka agama saling berdialog untuk mencari jalan keluar
yang bijak. Hal itu sangat tepat sebagai langkah awal merumuskan
persoalan kekerasan di HKBP agar tidak merembet dan berdampak pada
perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun mengapa
pemerintah bertindak setelah insiden itu terjadi dan sudah menelan
korban? Sesungguhnya, mengingat kejadian kekerasan demikian yang
kerap kali terjadi di Indonesia sudah seharusnya jika pemerintah
terlebih dahulu mencegah adanya tindak kekerasan yang dialami satu
pengurus HKBP dan satu pendetanya dari pada bertindak setelah terjadi
kekerasan.
Kelalaian pemerintah
tersebut merupakan wujud nyata kelambanan pemerintah dalam melindungi
umatnya untuk hidup rukun dan berdamai yang bertujuan tanpa
menciderai agama lain sesuai dengan maksud yang termaktub dalam
undang-undang negara.
Hal krusial lain
adalah dampak kelalaian itu yang mengakibatkan kerukunan antar umat
beragama dengan mudah terprovokasi dan dimainkan oleh pihak tertentu
yang sengaja ingin memecah belah kerukunan antar umat beragama dan
mengakibatkan pemerintah dalam kinerjanya berjalan tidak efektif.
Insiden itu di mata
umat Kristen Protestan adalah insiden yang tidak beres dan sangat
merugikan. Siapapun yang menjadi korban atas kekerasan tersebut
adalah korban dari dua hal penting.
Pertama,
korban keteledoran pemerintah yang tidak menjamin adanya kebebasan
umat beragama dalam perihal peribadatan sesuai amanah undang-undang
kebebasan beragama yang telah ditentukan sendiri oleh pihak
pemerintah.
Kedua,
oknum korban akibat ketidaksenangan pihak tertentu terhadap umat
beragama lain. Sentimen yang demikian membuat disharmonisasi hubungan
umat beragama satu sama lain yang sengaja dipicu pihak tertentu
karena tidak menyukai adanya HKBP dan segala aktivitasnya.
Namun dua hal
tersebut memiliki sumber rujukan perlindungan yang sama yaitu tingkat
optimalisasi pemerintah dalam menjalankan undang-undang beragama yang
tak luput; beraksi setelahnya bukan sebelumnya. Kata lainya sangat
bertentangan dengan pepatah “lebih baik mencegah dari pada
mengobati.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan kritik dan saran anda melalui kotak komentar di bawah, dan apabila ingin memberikan tanggapan yang lebih panjang bisa langsung menghubungi via Email